Nama - nama tokoh penyebar agama islam di pulau Jawa Indonesia.
Asal
usul Sunan Bonang
Dari berbagai sumber disebutkan
bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana Makdum Ibrahim. Putera
Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila.
Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah puteri Prabu Kertabumi. Dengan demikian Raden Makdum adalah seorang Pangeran Majapahit karena ibunya adalah puteri Raja Majapahit dan ayahnya menantu Raja Majapahit.
Sebagai seorang wali yang disegani
dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se tanah jawa, tentu saja Sunan Ampel
mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Sejak kecil Raden Makdum Ibrahim sudah
diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin.
Sudah bukan rahasia bahwa latihan
atau riadha para wali itu lebih berat daripada orang awam. Raden Makdum Ibrahim
adalah calon wali yang besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan
sebaik mungkin.
Disebutkan dari berbagai literatur
bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan
pelajaran agama Islam ke tanah seberang yaitu negeri Pasai. Keduanya menambah
pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga
belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai. Seperti
ulama tasawuf yang berasal dari bagdad, Mesin, Arab dan Parsi atau Iran.
Sesudah belajar di negeri Pasai
Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke jawa. Raden paku kembali ke
Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri.
Raden Makdum Ibrahim diperintahkan
Sunan Ampel untuk berdakwah di daerah Lasem, Rembang, Tuban dan daerah Sempadan
Surabaya.
• Bijak
dalam Berdakwah
Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim
ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu
berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan
yang ditonjolkan dibagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu
lunak timbulah suara yang merdu di telinga penduduk setempat.
Lebih-lebih bila Raden Makdum
Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu, beliau adalah seorang wali yang mempunyai
cita rasa seni yang tinggi, sehingga apabila beliau bunyikan pengaruhnya sangat
hebat bagi pendengarnya.
Setiap Raden Makdum Ibrahim
membunyikan Bonang pasti banyak penduduk yang datang ingin mendengarnya. Dan
tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus
melagukan tembang-tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim. Begitulah siasat Raden
Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut
simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran agama Islam kepada mereka.
Tembang-tembang yang diajarkan
Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran agama Islam. Sehingga
tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan
dengan paksaan.
Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini
sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara, Surabaya maupun
Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat
memberinya gelar Sunan Bonang.
•Karya
Satra
Beliau juga menciptakan karya sastra
yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap
sebagai karya sastra yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan
beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di perpustakaan Universitas Leiden,
Belanda.
Suluk berasal dari bahasa Arab
“Salakattariiqa” artinya menempuh jalan (tasawuf) atau tarikat. Ilmunya sering
disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasanya disampaikan dengan sekar atau tembang disebut
Suluk, sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut
wirid.
•Kuburnya
ada dua
Sunan Bonang sering berdakwah
keliling hingga usia lanjut. Beliau meninggal dunia pada saat berdakwah di
Pulau Bawean.
Berita segera disebarkan ke seluruh
tanah jawa. Para murid berdatangan dari segala penjuru untuk berduka cita dan
memberikan penghormatan yang terakhir.
Murid-murid yang berada di Pulau
Bawean hendak memakamkan beliau di Pulau Bawean. Tetapi murid yang berasal dari
Madura dan Surabaya menginginkan jenasah beliau dimakamkan di dekat ayahnya
yaitu Sunan Ampel di Surabaya. Dalam hal memberikan kain kafan pembungkus
jenasah mereka pun tak mau kalah. Jenasah yang sudah dibungkus dengan kain
kafan milik orang bawean masih ditambah lagi dengan kain kafan dari Surabaya.
Pada malam harinya, orang-orang
Madura dan Surabaya menggunakan ilmu sirep untuk membikin ngantuk orang-orang
Bawean dan Tuban. Lalu mengangkut jenasah Sunan Bonang kedalam kapal dan hendak
dibawa ke Surabaya. Karena tindakannya tergesa-gesa kain kafan jenasah
tertinggal satu.
Kapal layar segera bergerak ke arah
Surabaya, tetapi ketika berada diperairan Tuban tiba-tiba kapal yang
dipergunakan tidak bisa bergerak akhirnya jenasah Sunan Bonang dimakamkan di
Tuban yaitu sebelah barat Mesjid Jami’ Tuban.
Sementara kain kafannya yang
ditinggal di Bawean ternyata juga ada jenasahnya. Orang-orang Bawean pun
menguburkannya dengan penuh khidmat.
Dengan demikian ada dua jenasah
Sunan Bonang, inilah karomah atau kelebihan yang diberikan Allah kepada beliau.
Dengan demikian tak ada permusuhan diantara murid-muridnya.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525
M. Makam yang dianggap asli adalah yang berada dikota Tuban sehingga sampai
sekarang makam itu banyak yang diziarahi orang dari segala penjuru tanah air.
Asal Usul Sunan Giri atau Syekh
Maulana Ishak
Di awal abad 14 M, kerajaan
Blambangan diperintah oleh Prabu Mena Sembuyu, salah seorang keturunan Prabu
Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit. Raja dan rakyatnya memeluk agam Hindu dan
sebagian ada yang memeluk agama Budha.
Pada suatu hari Parbu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula permaisurinya pasalnya puteri mereka satu-satunya jatuh selama beberapa bulan. Sudah diusahakan mendatangkan tabib dan dukun untuk mengobati tapi sang puteri belum sembuh juga.
Memang pada waktu itu kerajaan
Blambangan sedang dilanda wabah penyakit. Banyak sudah korban berjatuhan.
Menurut gambaran babad tanah jawa esok sakit sorenya mati. Seluruh penduduk
sangat prihatin, berduka dan hampir semua kegiatan sehari-hari menjadi macet
total.
Atas saran permaisuri Prabu Menak
Sembuyu mengadakan sayembara, siapa yang dapat menyembuhkan puterinya akan
diambil menantu dan siapa yang dapat mengusir wabah penyakit di Blambangan akan
diangkat sebagai Bupati atau Raja Muda. Sayembara disebar hampir keseluruh
pelosok negeri. Tapi sudah berbulan-bulan tidak juga ada yang dapat
memenangkan sayembara tersebut.
Permaisuri makin sedih hatinya,
prabu Menak Sembuyu berusaha menghibur isterinya dengan menugaskan Patih Baju
Sengara untuk mencari pertapa sakti guna mengobati penyakit puterinya.
Diiringi beberapa prajurit pilihan,
Patih Baju Sengara berangkat melaksanakan tugasnya. Para pertapa biasanya
tinggal dipuncak lereng-lereng gunung, maka kesanalah tujuan Patih Bajul
Sengara.
Patih Bajul Sengara akhirnya bertemu
dengan Resi Kandabaya yang mengetahui adanya tokoh sakti dari negeri seberang.
Orang yang dimaksud adalah Syekh Maulana Ishak yang sedang berdakwah secara
sembunyi-sembunyi dinegeri Blambangan.
Patih Bajul Sengara bertemu dengan
Syekh Maulana Ishak yang sedang bertafakkur disebuah goa. Syekh Maulana Ishak
mau mengobati puteri Prabu Menak Sembuyu dengan syarat Prabu mau masuk atau
memeluk agama Islam. Syekh Maulana Ishak memang piawai dibidang ilmu
kedokteran, puteri Dewi Sekar Dadu sembuh sekali diobati. Wabah penyakit juga
lenyap dari wilayah Blambangan. Sesuai janji Raja maka Syekh Maulana Ishak
dikawinkan dengan Dewi Sekardadu. Kemudian diberi kedudukan sebagai Adipati
untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan.
•Hasutan
Sang Patih
Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak
menjadi adipati baru di Blambangan, makin hari semakin bertambah banyak
penduduk Blambangan yang memeluk agama Islam. Sementara Patih Bajul Sengara tak
henti-hentinya mempengaruhi sang prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya. Hati
Prabu Menak Sembuyu jadi panas mengetahui hal ini.
Patih Bajul Sengara sendiri
sepengetahuan sang Prabu sudah mengadakan teroe pada pengikut Syekh Maulana
Ishak. Tidak sedikit penduduk Kadipaten yang dipimpin Syekh Maulana Ishak
diculik, disiksa dan dipaksa kembali pada agama lama.
Pada saat itu Dewi Sekardadu sedang
hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak sadar bila diteruskan akan terjadi
pertumpahan darah yang seharusnya tidak perlu. Kasihan rakyat jelata yang harus
menanggung akibatnya. Maka dia segera pamit kepada isterinya untuk meninggalkan
Blambangan.
Akhirnya, pada tengah malam dengan
hati yang berat karena harus meninggalkan isteri tercinta yang hamil tujuh
bulan, Syekh Maulana Ishak berangkat meninggalkan Blambangan seorang diri. Esok
harinya sepasukan besar prajurit Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara
menerobos masuk wilayah Kadipaten yang sudah ditinggalkan Syekh Maulana Ishak.
Dua bulan kemudian dari rahim
Sekardadu lahir bayi laki-laki yang elok rupanya. Sesungguhnya Prabu Menak
Sembuyu dan permaisurinya merasa senagn dan bahagia melihat kehadiran cucunya
yang montok dan rupawan itu. Bayi itu lain daripada yag lain, wajahnya
mengeluarkan cahaya terang.
Lain halnya dengan Patih Bajul
Sengara, dibiarkannya bayi itu mendapat limpahan kasih sayang keluarganya selama
empat puluh hari. Sesudah itu dia menghasut Prabu Menak Sembuyu. Kebetulan pada
saat itu wabah penyakit berjangkit kembali di Blambangan, maka Patih baju
Sengara berulah lagi.
Bayi itu! Benar Gusti Prabu! Cepat
atau lambat bayi itu akan menjadi bencan dikemudian hari. Wabah penyakit inipun
menurut dukun-dukun terkenal diBlambangan ini disebabkan adanya hawa panas yang
memancar dari jiwa bayi itu! Kilah patih Bajul Sengara dengan alasan yang
dibuat-buat.
Sang Prabu tidak cepat mengambil
keputusan, dikarenakan dalam hatinya dia terlanjur menyukai kehadiran cucunya
itu. Namun sang Patih tiada bosan-bosannya menteror dengan hasutan dan tuduhan
keji yang akhirnya sang Prabu terpengaruh juga.
Walau demikian tiada tega juga dia
memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu secara langsung. Bayi yang masih
berusia empat puluh hari dimasukkan kedalam peti dan diperintahkan untuk
dibuang ke samudera.
•Joko
Samudra
Pada suatu malam ada sebuah perahu
dagang dari Gresik melintasi selat Bali. Ketika perahu itu berada ditengah-tengah
selat Bali tiba-tiba terjadi keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju
tak bisa mundurpun tak bisa.
Nahkota memerintahkan awak kapal
untuk memeriksa sebab-sebab kemacetan ini, meungkinkah perahunya membentur
karang. Setelah diperiksa ternyata perahu itu hanya menabrak sebuah peti
berukir indah, seperti peti milik kaum bangsawan yang digunakan menyimpan
barang berharga. Nahkoda memerintahkan mengambil peti itu. Semua orang terkejut
karena didalamnya terdapat seorang bayi mungil yang bertubuh montok dan
rupawan. Nahkoda merasa gembira menyelamatkan jiwa si bayi mungil itu, tapi
juga mengutuk orang yang tidak berprikemanusiaan.
Nahkoda kemudian memerintahkan awak
kapal untuk melanjutkan pelayaran ke pulau Bali. Tapi perahu tidak dapat
bergerak maju. Ketika perahu diputar dan digerakkan kearah Gresik
ternyata perahu itu melaju dengan cepatnya.
Dihadapan Nyai Ageng Pinatih janda
kaya raya pemilik Kapal Nahkoda berkata sambil membuka peti itu. Peti inilah
yang menyebabkan kami kembali ke Gresik dalam waktu secepat ini. Kami tak dapat
meneruskan pelayaran ke Pulau Bali, kata sang nahkoda.
Bayi…? Bayi siapa ini ? gumam Nyai
Ageng Pinatih sembari mengangkat bayi itu dari dalam peti.
Kami menemukannya di tengah samudera
selat Bali, jawab nahkoda kapal.
Bayi ini kemudian mereka serahkan
kepada Nyai Ageng Pinatih untuk diambil sebagai anak angkat. Memang sudah lama
dia menginginkan seorang anak. Karena bayi ini ditemukan di tengah
smudera maka Nyai Ageng Pinatih kemudian memberinya nama Joko Samudra.
Ketika berumur 11 tahun, Nyai Ageng
Pinatih mengantarkan Joko Samudra untuk berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan
Ampel di Surabaya. Menurut beberapa sumber mula pertama Joko Samudra
setiap hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian
menyarankan agar anak itu mondok saja dipesantren Ampeldenta supaya lebih
konsentrasi dalam mempelajari agama Islam.
Pada suatu malam, seperti biasanya
Raden Rahmat hendak mengambil air wudhu guna melaksanakan sholat Tahajjud,
mendoakan muridnya dan mendoakan umat agar selamat di dunia dan di akhirat.
Sebelum berwudhu Raden Rahmat menyempatkan diri melihat-lihat para santri yang
tidur di asrama.
Tiba-tiba Raden Rahmat terkejut. Ada
sinar terang memancar dari salah seorang santrinya. Selama beberpa saat beliau
tertegun, sinar terang itu menyilaukan mata. Untuk mengetahui siapakah murid
yang wajahnya bersinar itu maka Sunan ampel memberi ikatan pada sarung murid
itu.
Esok harinya, sesudah sholat subuh
Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu.
Siapakah diantara kalian yang waktu
bangun tidur kain sarungnya ada ikatan? Tanya Sunan Ampel.
Saya Kanjeng Sunan…..ujar Joko
Samudra.
Melihat yang mengacungkan tangan
adalah Joko Samudra, Sunan Ampel makin yakin bahwa anak itu pastilah bukan anak
sembarangan. Kebetulan pada saat itu Nyai Ageng Pinatih datang untuk menengok
Joko Samudra, kesempatan itu digunakan Sunan Ampel untuk bertanya lebih jauh
tentang asal-usul Joko Samudra.
Nyai Ageng Pinatih menjawab
sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samudra ditemukan ditengah selat Bali ketika masih
bayi. Peti yang digunakan untuk membuang bayi itu hingga sekarang masih
tersimpan rapi dirumah Nyai Ageng Pinatih.
Teringat pada pesan Syekh Maulana
Ishak sebelum berangkat ke negeri Pasai maka Sunan Ampel kemudian mengusulkan
Nyai Ageng Pinatih agar nama anak itu diganti menjadi Raden Paku. Nyai Ageng
Pinatih menurut saja apa kata Sunan Ampel, dia percaya penuh kepada wali
besar yang dihormati masyarakat bahkan juga masih terhitung seorang Pangeran
Majapahit itu.
•Raden
Paku
Sewaktu mondok dipesantren
Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab bersahabat dengan putera Raden Rahmat yang
bernama Raden Makdum Ibrahim. Keduanya bagai saudara kandung saja, saling
menyayangi dan saling mengingatkan.
Setelah berusia 16 tahu, kedua
pemuda itu dianjurkan untuk menimba ilmu pengetahuan yang lebih tinggi di
negeri seberang sambil meluaskan pengetahuan.
Di negeri Pasai banyak orang pandai
dari berbagai negeri. Disana juga ada ulama besar yang bergelar Syekh Awwallul
Islam. Dialah ayah kandung yang nama aslinya adalah Syekh Maulana Ishak.
Pergilah kesana tuntutlah ilmunya yang tinggi dan teladanilah kesabarannya
dalam mengasuh para santri dan berjuang menyebarkan agama Islam. Hal itu akan
berguna kelak bagi kehidupanmu di masa yang akan datang.
Pesan itu dilaksanakan oleh Raden
Paku dan Raden Makdum Ibrahim. Dan begitu sampai di negeri Pasai keduanya
disambut gembira, penuh rasa haru dan bahagia oleh Syekh Maulana Ishak ayah
kandung Raden Paku yang tak pernah melihat anaknya sejak bayi.
Raden Paku menceritakan riwayat
hidupnya sejak masih kecil ditemukan ditengah samudera dan kemudian diambil
anak angkat oleh Nyai Ageng Pinatih dan berguru pada Sunan Ampel di Surabaya.
Sebaliknya Syekh Maulana Ishak
kemudian menceritakan pengalamannya di saat berdakwah di Blambangan sehingga
dipaksa harus meninggalkan isteri yang sangat dicintainya.
Raden Paku menangis sesegukan
mendengar kisah itu. Bukan menangis kemalangan dirinya yang disia-siakan
kakeknya yaitu Prabu Menak Sembuyu tetapi memikirkan nasib ibunya yang tak diketahui
lagi tempatnya berada. Apakah ibunya masih hidup atau sudah meninggal dunia.
Di negeri Pasai banyak ulama besar
dari negeri asing yang menetap dan membuka pelajaran agama Islam kepada
penduduk setempat, hal ini tidak disia-siakan oleh Raden Paku dan Maulana
Makdum Ibrahim. Kedua pemuda itu belajar agama dengan tekun, baik kepada Syekh
Maulana Ishak sendiri maupun kepada guru-guru agama lainnya.
Ada yang beranggapan bahwa Raden
Paku dikaruniai Ilmu Laduni yaitu ilmu yang langsung berasal dari Tuhan,
sehingga kecerdasan otaknya seolah tiada bandingnya. Disamping belajar ilmu
Tauhid mereka juga mempelajari ilmu Tasawuf dari ulama Iran, Bagdad dan Gujarat
yang banyak menetap di negeri Pasai.
Ilmu yang dipelajari itu berpengaruh
dan menjiwai kehidupan Raden Paku dalam perilakunya sehari-hari sehingga
kentara benar bila ia mempunyai ilmu tingkat tinggi, ilmu yang sebenarnya hanya
dimiliki ulama yang berusia lanjut dan berpengalaman. Gurunya kemudian
memberinya gelar Syekh Maulana Ainul Yaqin.
Setelah tiga tahun berada di pusat
Pasai. Dan masa belajarnya itu sudah dianggap cukup oleh Syekh Maulana Ishak,
kedua pemuda itu diperintahkan kembali ke tanah jawa. Oleh ayahnya, Raden Paku
diberi sebuah bungkusan kain putih berisi tanah.
Kelak, bila tiba masanya dirikanlah
pesantren di Gresik, carilah tanah yang sama betul dengan tanah dalam bungkusan
ini disitulah kau membangun pesantren, demikianlah pesan anahnya.
Kedua pemuda itu kemudian kembali ke
Surabaya. Melaporkan segala pengalamannya kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel
memerintahkan Makdum Ibrahim berdakwah di Tuban, sedangkan Raden Paku
diperintah pulang ke Gresik kembali ke ibu angkatnya yaitu Nyai Ageng Pinatih.
•Membersihkan
Diri
Pada usia 23 tahun, Raden Paku
diperintah oleh ibunya untuk mengawal barang dagangan ke pulau Banjar atau
Kalimantan. Tugas ini diterimanya dengan senang hati. Nahkoda kapal
diserahkan kepada pelaut kawakan yaitu Abu Hurairah. Walau pucuk pimpinan
berada di tangan Abu Hurairah tapi Nyai Ageng Pinatih memberi kuasa pula kepada
Raden Paku untuk ikut memasarkan dagangan di Pulau Banjar.
Tiga buah kapal berangkat
meninggalkan pelabuhan Gresik dengan penuh muatan. Biasanya, sesudah dagangan
itu habis terjual di Pulau Banjar maka Abu Hurairah diperintah membawa barang
dagangan dari pulau Banjar yang sekiranya laku di pulau Jawa, seperti rotan,
damar, emas dan lain-lain. Dengan demikian keuntungan yang diperoleh menjadi
berlipat ganda, tapi kali tidak, sesudah kapal merapat dipelabuhan Banjar,
Raden paku membagi-bagikan barang dagangannya dari Gresik itu secara gratis
kepada penduduk setempat.
Tentu saja hal ini membuat Abu
Hurairah menjadi cemas. Dia segera memprotes tindakan Raden Paku, Raden….kita
pasti akan mendapat murka Nyai Ageng Pinatih. Mengapa barang dagangan kita
diberikan secara cuma-cuma?
Jangan kuatir paman, kada Raden
Paku. Tindakan saya ini sudah tepat. Penduduk Banjar saat ini sedang dilanda
musibah. Mereka dilanda kekeringan dan kurang pangan. Sedangkan ibu sudah
terlalu banyak mengambil keuntungan dari mereka, sudahkah ibu memberikan
hartanya dengan membayar zakat kepada mereka? Saya kira belum, nah sekaranglah
saatnya ibu mengeluarkan zakat untuk membersihkan diri.
Itu diluar wewenang saya Raden, kata
Abu Hurairah. Jika kita tidak memperoleh uang lalu dengan apa kita mengisi
perahu supaya tidak oleng dihantam gelombang dan badai?
Raden Paku terdiam beberapa saat.
Dia sudah maklum bila dagangan habis biasanya Abu Hurairah akan mengisi kapal
atau perahu dengan barang dagangan dari Kalimantan. Tapi sekarang tak ada uang
dengan apa dagangan pulau Banjar akan dibeli.
Paman tak usah risau, kata Raden
Paku dengan tenangnya. Supaya kapal tidak oleng isilah karung-karung kita
dengan batu dan pasir.
Memang benar, mereka dapat berlayar
hingga dipantai Gresik dalam keadaan selamat. Tapi hati Abu Hurairah menjadi
kebat-kebit sewaktu berjalan meninggalkan kapal untuk bertemu dengan Nyai Ageng
Pinatih.
Dugaan Abu Hurairah benar. Nyai
Ageng Pinatih terbakar amarahnya demi mendengar perbuatan Raden Paku yang
dianggap tidak normal.
Sebaiknya ibu lihat dulu pinta Raden
Paku.
Sudah, jangan banyak bicara. Buang
saja pasir dan batu itu. Hanya mengotori karung-karung kita saja hardik Nyai
Ageng Pinatih.
Tapi ketika awak kapal membuka
karung-karung itu mereka terkejut. Karung-karung itu isinya menjadi
barang-barang dagangan yang biasa mereka bawa dari banjar, seperti rotan, damar
, kain dan emas serta intan. Bila ditaksir harganya jauh lebih besar ketimbang
dagangan yang disedekahkan kepada penduduk Banjar.
•Perkawinan
Raden Paku
Al-kisah ada seorang bangsawan
Majapahit bernama Ki Ageng Supa Bungkul ia mempunyai sebuah pohon delima yang
aneh didepan rumahnya. Setiap kali ada orang yang hendak mengambil buah delima
yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib celaka, kalau tidak ditimpa
penyakit berat tentulah orang tersebut meninggal dunia. Suatu ketika Raden Paku
tanpa sengaja lewat didepan pekarangan Ki Ageng Supa Bungkul. Begitu ia
berjalan dibawah pohon delima tiba-tiba pohon itu jatuh mengenai kepala Raden
Paku.
Ki Ageng Bungkul pun tiba-tiba muncul
dan mencegat Raden Paku dan ia berkata, kau harus kawin dengan puteriku Dewi
Wardah.
Memang, Ki Ageng Bungkul telah
mengadakan sayembara, siapa saja yang dapat memetik buah delima itu dengan
selamat maka ia akan dijodohkan dengan puterinya yang bernama Dewi Wardah.
Raden Paku bingung menghadapi hal itu. Maka peristiwa itu disampaikan kepada
Sunan Ampel.
Tak usah bingung, Ki Ageng Bungku
adalah serang muslim yang baik. Aku yakin Dewi Wardah juga seorang muslimah
yang baik. Karena hal itu menjadi niat Ki Ageng Bungkul kuharap kau tidak
mengecewakan niat baiknya itu. Demikian kata Sunan Ampel.
Tapi…….bukankah saya hendak menikah
dengan puteri Kanjeng Sunan Yaitu dengan Dewi Murtasiah ujar Raden Paku.
Tidak mengapa? Kata Sunan Ampel.
Sesudah melangsungkan akad nikah dengan Dewi Murtasiha selanjutnya kau akan
melangsungkan perkawinan dengan Dewi Wardah.
Itulah liku-liku perjalan hidup
Raden Paku. Dalam sehari ia menikah dua kali. Menjadi menantu Sunan Ampel,
kemudian menjadi menantu Ki Ageng Bungkuk seorang bangsawan Majapahit yang
hingga sekarang makamnya terawat baik di Surabaya.
Sesudah berumah tangga, Raden Paku
makin giat berdagang dan berlayar antar pulau. Sambil berlayar itu beliau
menyiarkan agama Islam pada penduduk setempat sehingga namanya cukup terkenal
di kepulauan nusantara.
Lama-lama kegiatan dagang tersebut
tidak memuaskan hatinya, ia ingin berkonsentrasi menyiarkan agama Islam dengan
mendirikan pondok pesantren. Ia pun minta izin kepada ibunya untuk meninggalkan
dunia perdagangan.
Nyai Ageng Pinatih yang kaya raya
itu tidak keberatan, andaikata hartanya yang banyak itu dimakan setiap hari
dengan anak dan menantunya rasanya tiada akan habis, terlebih juragan Abu
Hurairah orang kepercayaan Nyai Ageng Pinatih menyatakan kesanggupannya untuk
mengurus seluruh kegiatan perdagangan miliknya, maka wanita itu ikhlas
melepaskan Raden Paku yang hendak mendirikan pesantren.
Mulailah Raden Paku bertafakkur
digoa yang sunyi, 40 hari 40 malam beliau tidak keluar goa. Hanya bermunajat
kepada Allah. Tempat Raden Paku bertafakkur itu hingga sekarang masih ada yaitu
desa Kembangan dan Kebomas.
Usai bertafakkur teringatlah Raden
Paku pada pesan ayahnya sewaktu belajar di negeri Pasai. Dia pun berjalan
berkeliling daerah yang tanahnya mirip dengan tanah yang dibawa dari negeri
Pasai.
Melalui desa Margonoto, sampailah
Raden Paku didaerah perbukitan yang hawanya sejuk, hatinya terasa damai, ia pun
mencocokkan tanah yang dibawanya dengan tanah ditempat itu. Ternyata cocok
sekali. Maka di desa Sidomukti itulah ia kemudian mendirikan pesantren. Karena
tempat itu adalah dataran tinggi atau gunung maka dinamakanlah Pesantren Giri.
Giri dalam bahasa sansekerta artinya gunung.
Atas dukkungan isteri-isteri dan
ibunya juga dukungan spiritual dari Sunan ampel, tidak begitu lama hanya dalam
waktu tiga tahun pesantren Giri sudah terkenal ke seluruh nusantara.
Menurut Dr.H.J. De Graaf, sesudah
pulang dari pengembaraannya atau berguru ke negeri Pasai, ia memperkenalkan
diri kepada dunia, kemudian berkedudukan diatas bukit di Gresik dan ia menjadi
orang pertama yang paling terkenal dari Sunan-sunan Giri yang ada. Diatas
gunung tersebut seharusnya ada istana karena dikalangan rakyat dibicarakan
adanya Giri Kedatin (Kerajaan Giri). Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari
segala penjuru, seperti Maluku, Madura, Lomnok, Makasar, Hitu dan Ternate.
Demikian menurut De Graaf.
Menurut babad tanah jawa murid-murid
Sunan Giri itu justru bertebaran hampir diseluruh penjuru benua besar, seperti
Eropa (Rum), Arab, Mesir, Cina dan lain-lain. Semua itu adalah penggambaran
nama Sunan Giri sebagai ulama besar yang sangat dihormati orang pada jamannya.
Disamping pesantrennya yang besar ia juga membangun mesjid sebagai pusat ibadah
dan pembentukan iman umatnya. Untuk para santri yang datang dari jauh beliau juga
membangun asrama yang luas.
Disekitar bukti tersebut sebenarnya
dahulu jarang dihuni oleh penduduk dikarenakan sulitnya mendapatkan air. Tetapi
dengan adanya Sunan Giri masalah air itu dapat diatasi. Cara Sunan Giri membuat
sumur atau sumber air itu sangat aneh dan gaib hanya beliau seorang yang mampu
melakukannya.
•Peresmian
Mesjid Demak
Dalam peresmian mesjid Demak Sunan
Kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan pertunjukkan wayang kulit yang pada
waktu itu bentuknya masih wayang beber yaitu gambar manusia yang dibeber pada
sebuah kulit binatang.
Usul Sunan Kalijaga ditolak oleh
Sunan Giri, karena wayang yang bergambar manusia haram hukumnya dalam ajaran
Islam, demikian menurut Sunan Giri.
Jika sunan Kalijaga mengusulkan
peresmian mesjid Demak dengan membuka pagelaran wayang kulit, kemudian diadakan
dakwah dan rakyat berkumpul boleh masuk setelah mengucapkan syahadat, maka
Sunan Giri mengusulkan agar mesjid Demak diresmikan pada saat hari Jum’at
sembari melaksanakan Sholat jamaah Jum’at.
Sunan Kalijaga berjiwa besar
kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan Giri. Sebelum Sunan Kalijaga telah
merubah bentuk wayang kulit sehingga gambarannya tidak bisa disebut sebagai
gambar manusia lagi, lebih mirip karikatur seperti bentuk wayang yang ada
sekarang ini.
Sunan Kalijaga membawa wayang
kreasinya itu dihadapan Sidang para wali. Keran tidak bisa disebut gambar
manusia maka akhirnya Sunan Giri menyetujui wayang kulit itu digunakan sebagai
media dakwah.
Perubahan bentuk wayang kulit itu
adalah dikarenakan sanggahan Sunan Giri. Karena itu Sunan Kalijaga memberi
tanda khusus pada momentum penting itu. Pemimpin para dewa dalam pewayangan
oleh Sunan Kalijaga dinamakan Sang Hyang Girinata yang arti sebenarnya adalah
sunan Giri yang menata.
Maka perdebatan tentang peresmian
mesjid Demak bisa diatasi. Peresmian itu akan diawali dengan sholat
jum’at kemudian diteruskan dengan pertunjukkan wayang kulit yang dimainkan oleh
ki dalang Sunan Kalijaga.
• Jasa-jasa
Sunan Giri
Jasa yang terbesar tentu saja
perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam di tanah jaw bahkan ke nusantara.
Beliau pernah menjadi hakim dalam
perkara pengadilan Syekh Siti Jenar, seorang wali yang dianggap murtad karena
menyebarkan faham Pantheisme dan meremehkan syariat Islam yang disebarkan para
wali lainnya. Dengan demikian sunan Giri ikut menghambat tersebarnya
aliran yang bertentangan dengan faham Ahlussunnah wal jama’ah.
Keteguhannya dalam menyiarkan agama
Islam secara murni dan konsekuen membawa dampak positif bagi generasi Islam
berikutnya. Islam yang disiarkannya adalah Islam sesuai ajaran Nabi tanpa
dicampuri dengan adat istiadat lama.
Di dalam kesenian beliau juga
berjasa besar, karena beliaulah yang pertama kali menciptakan Asmaradana dan
Pucung, beliau pula yang menciptakan tembang dan tembang dolanan anak-anak yang
bernafas Islam antara lain: jamuran, Cublak-ublak Suweng, Jithungan dan
Delikan.
Sembari melakukan permainan yang
disebut jelungan itu biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu Padhang
Bulan :
“Padhang-padhang bulan, ayo gage dha
dolanan,
Dolanane na ing latar,
Ngalap padhang gilar-gilar,
Nundhung begog hangetikar.”
(malam terang bulan, marilah lekas
bermain, bermain dihalaman, mengambil dihalaman, mengambil manfaat benderangnya
rembulan, mengusir gelap yang lari terbirit-birit)
Maksud dari lagu dolanan padhang
bulan ;
Agama Islam telah datang, maka
marilah kita segera menuntut penghidupan, dimuka bumi ini, untuk mengambil
manfaat dari agama Islam, agar hilang lenyaplah kebodohan dan kesesatan.
•Para
Pengganti Sunan Giri
Sunan Giri atau Raden Paku lahir
pada tahun 1412 M, memerintah kerajaan Giri kurang lebih 20 tahun. Sewaktu
memerintah Giri Kedaton beliau bergelar Prabu Satmata.
Pengaruh Sunan giri sangatlah besar
terhadap kerajaan Islam di jawa maupun di luar jawa. Sebagi buktinya adalah
adanya kebiasaan bahwa apabila seorang hendak dinobatkan menjadi raja haruslah
mendapat pengesahan dari Sunan Giri.
Giri Kedaton atau Kerajaan Giri
berlangsung selama 200 tahun. Sesudah Sunan Giri meninggal dunia beliau
digantikan anak keturunannya yaitu:
1. Sunan
Dalem
2. Sunan
Sedomargi
3. Sunan
Giri Prapen
4. Sunan
Kawis Guwa
5. Panembahan
Ageng Giri
6. Panembahan
Mas Witana Sideng Rana
7. Pangeran
Singonegoro (bukan keturunan Sunan Giri
8. Pengeran
Singosari
Pangeran Singosari ini berjuang
gigih mempertahankan diri dari serbuan Sunan Amangkurat II yang dibantu oleh
VOC dan Kapten Jonker.
Sesudah pangeran Singosari wafat
pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri Kedaton. Meski demikian kharisma Sunan
Giri sebagai ulama besar wali terkemuka tetap abadi sepanjang masa.
Asal Usul Sunan Gresik atau Syekh Maulana Malik Ibrahim
Jauh
sebelum Maulana Malik Ibrahim datang ke Pulau Jawa. Sebenarnya sudah ada
masyarakat Islam di daerah-daerah pantai utara. Termasuk di desa Leran. Hal itu
bisa dibuktikan dengan adanya makam seorang wanita bernama Fatimah Binti Maimun
yang meninggal pada tahun 475 Hijriyah atau pada tahun 1082 M.
Jadi sebelum jaman Wali Songo, Islam
sudah ada di pulau Jawa, yaitu daerah Jepara dan Leren. Tetapi Islam pada masa
itu masih belum berkembang secara besar-besaran.
Maulana Malik Ibrahim yang lebih
dikenal penduduk setempat sebagai Kakek Bantal itu diperkirakan datang ke
Gresik pada tahun 1404 M. Beliau berdakwah di Gresik hingga akhir wafatnya
yaitu pada tahun 1419 M.
Pada masa itu kerajaan yang berkuasa
di Jawa Timur adalah Majapahit. Raja dan rakyatnya kebanyakan masih beragama
Hindu atau Budha. Sebagian rakyat Gresik sudah ada yang beragam Islam, tetapi
masih banyak yang beragama Hindu atau bahkan tidak beragama sama sekali.
Dalam Dakwah kakek bantal menggunakan
cara yang bijaksana dan strategi yang tepat berdasarkan ajaran
Al-Qur’an yaitu :
“Hendaklah engkau ajak kejalan
TuhanMu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan dengan petunjuk-petunjuk yang baik
serta ajaklah mereka berdialog (bertukar pikiran) dengan cara yang
sebaik-baiknya (QS. An Nahl ; 125)”
Ada yang menyebutkan bahwa beliau
berasal dari Turki dan pernah mengembara di Gujarat sehingga beliau cukup
berpengalaman menghadapi orang-orang Hindu di pulau Jawa. Gujarat adalah
wilayah negara Hindia yang kebanyakan penduduknya beragama Hindu.
Di Jawa, kakek bantal bukan hanya
berhadapan dengan masyarakat Hindu melainkan juga harus bersabar terhadap
mereka yang tak beragama maupun mereka yang terlanjur mengikuti aliran sesat,
juga meluruskan iman dari orang-orang Islam yang bercampur dengan kegiatan
Musyrik. Caranya , beliau tidak langsung menentang kepercayaan mereka
yang salah itu melainkan mendekati mereka dengan penuh hikmah, beliau tunjukkan
keindahan dan ketinggian akhlak Islami sebagaimana ajaran Nabi Muhammad SAW.
Dari huruf-huruf arab yang terdapat
pada batu nisannya dapat diketahui bahwa Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah si
Kakek Bantal, penolong fakir miskin, yang dihormati para pangeran dan para
sultan ahli tata negara yang ulung, hal itu menunjukkan betapa hebat perjuangan
beliau terhadap masyarakat, bukan hanya pada kalangan atas melainkan juga pada
golongan rakyat bawah yaitu kaum fakir miskin.
Keterangan yang tertulis dimakamnya
ialah sbb : “inilah makam Almarhum Almaghfur, yang berharap rahmat
Tuhan, kebanggaan para pangeran, para Sultan dan para Menteri, penolong para
Fakir dan Miskin, yang berbahagia lagi syahid, cemerlangnya simbol negara dan
agama, Malik Ibrahim yang terkenal dengan Kakek Bantal. Allah meliputinya
dengan RahmatNya dan KeridhaanNya, dan dimasukkan ke dalam Surga. Telah Wafat
pada hari Senin 12 Rabiul Awal tahun 822 H.”
Menurut literatur yang ada, beliau
juga ahli pertanian dan ahli pengobatan. Sejak beliau berada di Gresik hasil
pertanian rakyat Gresik meningkat tajam. Dan orang-orang sakit banyak yang
disembuhkannya dengan daun-daunan tertentu.
Sifatnya lemah lembut, welas asih
dan ramah tamah kepada semua orang, baik sesama muslim atau dengan non muslim
membuatnya terkenal sebagai tokoh masyarakat yang disegani dan dihormati.
Kepribadiannya yang baik itulah yang menarik hati penduduk setempat sehingga
mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka rela dan menjadi
pengikut beliau yang setia.
Sebagai misal beliau menghadapi
rakyat jelata yang pengetahuannya masih awam sekali, beliau tidak menjelaskan
Islam secara njelimet. Kaum bawah tersebut dibimbing untuk bisa mengolah tanah
agar sawah dan ladang mereka dapat dipanen lebih banyak lagi. Sesudah itu
mereka dianjurkan bersyukur kepada yang memberikan Rezeki yaitu Allah SWT.
Dikalangan rakyat jelata Syekh
Maulana Malik Ibrahim sangat terkenal, terutama dari kalangan kasta rendah.
Sebagaimana diketahui agama Hindu membagi masyarakat menjadi 4 kasta yaitu ;
kasta brahmana, kstaria, waisya dan sudra. Dari ke empat kasta tersebut kasta
sudra adalah yang paling rendah dan sering di tindas oleh kasta-kasta yang
lebih tinggi. Maka ketika Syekh Maulana Malik Ibrahim menerangkan kedudukan
seseorang didalam Islam, orang-orang kasta sudra dan waisya banyak yang tertarik,
Syekh Maulana Malik Ibrahim menjelaskan bahwa dalam agama Islam semua manusia
sama sederajat. Orang sudra boleh saja bergaul dengan kalangan yang lebih atas,
tidak dibeda-bedakan. Dihadapan Allah semua manusia adalah sama, yang paling
mulia diantara mereka hanyalah yang paling taqwa disisi Allah SWT.
Taqwa itu letaknya dihati, hati yang
mengendalikan segala gerak kehidupan manusia untuk berusaha sekuat-kuatnya
mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya.
Dengan taqwa itulah manusia akan
hidup bahagia di dunia dan di akherat kelak, orang yang bertaqwa sekalipun dia
dari kasta sudra bisa jadi lebih mulia daripada mereka yang berkasta ksatria
dan brahmana.
Mendengar keterangan ini, mereka
yang berasal dari kasta sudra dan waisya merasa lega, mereka merasa dibela dan
dikembalikan haknya sebagai manusia yang utuh sehingga wajarlah bila mereka
berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka cita.
Setelah pengikutnya semakin banyak,
beliau kemudian mendirikan mesjid untuk beribadah bersama-sama dan mengaji.
Dalam membangun mesjid ini beliau mendapat bantuan yang tidak sedikit dari Raja
Carmain.
Dan untuk mempersiapkan kader umat
yang nantinya dapat meneruskan perjuangan menyebarkan agama Islam ke seluruh
tanah Jawa dan seluruh Nusantara maka beliau kemudian mendirikan pesantren yang
merupakan perguruan Islam, tempat mendidik dan menggembleng para santri sebagai
calon mubaligh.
Pendirian pesantren yang pertama
kali di Nusantara itu di ilhami oleh kebiasaan masyarakat Hindu yaitu para Biksu
dan Pendeta Brahmana yang mendidik cantrik dan calon pemimpin agama di
mandala-mandala mereka.
Inilah salah
satu strategi para wali yang cukup jitu, orang Budha dan Hindu yang
mendirikan mandala-mandala untuk mendidik kader tidak dimusuhi secara frontal,
melainkan beliau-beliau itu mendirikan pesantren yang mirip dengan
mandala-mandala miliki kelompok Hindu dan Budha tersebut untuk menjaring umat.
Dan ternyata hasilnya sungguh memuaskan, dari pesantren Gresik kemudian muncul
para mubaligh yang menyebar ke seluruh Nusantara.
Tradisi pesantren tersebut
berlangsung hingga dijaman sekarang. Dimana para ulama menggodok calon mubaligh
dipesantren yang diasuhnya.
Bila orang bertanya suatu masalah
agama kepada beliau maka beliau tidak menjawab dengan berbelit-belit melainkan
dijawabnya dengan mudah dan gamblang sesuai dengan pesan Nabi yang menganjurkan
agama disiarkan dengan mudah, tidak dipersulit, umat harus dibuat gembira,
tidak ditakut-takuti.
Pada suatu hari Syekh Maulana Malik
Ibrahim ditanya tentang : Apakah yang dinamakan Allah itu ?
Beliau tidak menjawab bahwa Allah
itu adalah Tuhan yang memberi pahala surga kepada hambaNya yang berbakti dan
menyiksa sepedih-pedihnya bagi hamba yang membangkang kepadaNya.
Jawabannya cukup singkat dan jelas
yaitu, “Allah adalah Zat yang diperlukan adaNya.”
Dua tahun sudah Syekh Maulana Malik
Ibrahim berdakwah di Gresik, beliau tidak hanya membimbing umat untuk mengenal
dan mendalami agama Islam, melainkan juga memberi pengarahan agar tingkat
kehidupan rakyat Gresik menjadi lebih baik. Beliau pula yang mempunyai gagasan
mengalirkan air dari gunung untuk mengairi lahan pertanian penduduk. Dengan
adanya sistem pengairan yang baik ini lahan pertanian menjadi subur
dan hasil panen bertambah banyak, para petani menjadi makmur dan mereka dapat
mengerjakan ibadah dengan tenang.
Andai kata Syekh Maulana Malik
Ibrahim tidak ikut membenahi dan meningkatkan tarap hidup rakyat Gresik
tentulah mereka sukar diajak beribadah dengan baik dan tenang. Sebagaimana
sabda Nabi bahwa kefakiran menjurus pada kekafiran. Bagaimana mungkin bisa
beribadah dengan tenang jika sehari-hari disibukkan dengan urusan sesuap nasi.
Inilah resep yang harus ditiru.
•Tamu dari Negeri Carmain
Ada
ganjalan di hari Syekh Maulana Malik Ibrahim, dia telah berhasil mengIslamkan
sebagian besar rakyat Gresik. Yang mana saat itu Gresik merupakan bagian dari
wilayah Majapahit. Kalau seluruh rakyat sudah memeluk Islam sementara Raja
Brawijaya penguasa Majapahit masih beragama Hindu, apakah dibelakang hari tidak
timbul ketegangan antara rakyat dengan rajanya.
Untuk menghindari hal itu maka Syekh
Maulana Malik Ibrahim mempunyai rencana mengajak Raja Brawijaya untuk masuk
agama Islam.
Hal itu diutarakan kepada sahabatnya
yaitu Raja Carmain. Ternyata Raja Carmain juga mempunyai maksud serupa. Sudah
lama Raja Carmain ingin mengajak Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Pada tahun
1321 M. Raja Carmain datang ke Gresik disertai putrinya yang cantik rupawan.
Putri Raja Carmain itu bernama Dewi Sari, tujuannya dalam misi tersebut adalah
untuk memberikan bimbingan kepada para putri istana Majapahit mengenal agama
Islam.
Bersama Syekh Maulana Malik Ibrahim
rombongan dari negeri Carmain itu menghadap Prabu Brawijaya. Usaha mereka
ternyata gagal. Prabu Brawijaya bersikeras mempertahankan agama lama dengan
ucapan diplomatis. Bahwa dia bersedia masuk Islalm bila Dewi Sari bersedia
dipersuntingnya sebagai isteri. Dewi Sari menolak, tidak ada gunanya masuk
Islam bila ditunggangi dengan kepentingan duniawi. Beragama seperti itu
hanya akan merusak keagungan agama Islam.
Rombongan dari negeri Carmain lalu
kembali ke Gresik. Mereka beristiharat di Leran sembari menunggu selesainya
perbaikan kapal untuk berlayar pulang.
Sungguh sayang sekali, selama
peristirahatan di Leran banyak anggota dari negeri Carmain yang diserang wabah
penyakit. Banyak diantara mereka yang tewas, termasuk Dewi Sari.
Kabar kematian Dewi Sari terdengar
ke telinga Prabu Brawijaya, Raja yang memang tertarik dan merasa jatuh cinta
kepada Dewi Sari itu kemudian menyempatkan diri beserta para punggawanya
berkunjung ke Leran. Raja Brawijaya memerintahkan kepada para punggawanya untuk
menggali kubur dan memakamkan Dewi Sari dengan upacara kebesaran.
Setelah rombongan dari negeri
Carmain itu meninggalkan pantai Leran Prabu Brawijaya menyerahkan seluruh
daerah Gresik kepada Syekh Maulana Malik Ibrahim untuk diperintah sendiri
dibawah kedaulatan Majapahit.
Penyerahan wilayah itu adalah siasat
dari sang Raja agar rakyat Gresik yang beragama Islam itu tidak memberontak
kepada Rajanya yang masih beragama Hindu.
Amanat Raja Majapahit itu diterima
oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim dengan sukarela. Sesuai dengan ajaran Islam
yang menganjurkan perdamaian walaupun dengan kafir zimmi yaitu orang-orang
bukan muslim yang mau hidup berdampingan dengan aman dalam suatu negara.
Demikianlah sekilas tentang
Syekh Maulana Malik Ibrahim, seorang waliyullah yang dianggap sebagai ayah dari
Wali Songo. Beliau wafat di Gresik pada tahun 882 H atau 1419 M.
Asal
Usul Sunan Kudus
Menurut salah satu sumber, Sunan
Kudus adalah putera Raden Usman haji yang bergelar Sunan Ngudung dari Jipang
Panolan. Ada yang mengatakan letak Jipang Panolan ini disebelah utara kota
Blora. Di dalam babad tanah jawa, disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah
memimpin pasukan Majapahit. Sunan ngudung selaku senopati Demak berhadapan
dengan Raden Husain atau Adipati Terung dari Majapahit. Dalam pertempuran
yang sengit dan saling mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung gugur
sebagai pahlawan sahid. Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian digantikan
oleh sunan Kudus yang puteranya sendiri yang bernama asli Ja’far
Sodiq.
Pasukan Demak hampir saja menderita
kekalahan, namun berkat siasat Sunan Kalijaga, dan bantuan pusaka Raden Patah
yang dibawa dari Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhinya berimbang.
Selanjutnya melalui jalan diplomasi
yang dilakukan Patih Wanasalam dan Sunan Kalijaga, peperangan itu dapat
dihentikan. Adipati Terung yang memimpin laskar Majapahit diajak damai dan bergabung
dengan Raden Patah yang ternyata adalah kakaknya sendiri. Kini keadaan
berbalik. Adipati Terung dan pengikutnya bergabung dengan tentara Demak dan
menggempur tentara Majapahit hingga ke belahan timur. Pada akhirnya perang itu
dimenangkan oleh pasukan Demak.
•Guru-gurunya
Disamping belajar agama kepada
ayahnya sendiri, Ja’far Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal.
Diantaranya kepada Kiai Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan Sunan Ampel.
Nama asil Kiai Telingsing ini adalah
Ling Sing, beliau adalah seorang ulama dari negeri cina yang datang ke pulau
jawa bersama laksamana jenderal Cheng Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam
sejarah, jenderal Cheng Hoo yang beragama Islam itu datang ke pulau jawa untuk
mengadakan tali persahabatan dan menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.
Di jawa, the Ling Sing cukup
dipanggil dengan sebutan Telingsing, beliau tinggal di sebuah daerah subur yang
terletak diantara sungai Tanggulangin dan sungai Juwana sebelah Timur. Disana
beliau bukan hanya mengajarkan Islam, melainkan juga mengajarkan kepada
penduduk seni ukir yang indah.
Banyak yang datang berguru seni
kepada Kiai Telingsing, termasuk Ja’far Sodiq itu sendiri. Dengan belajar
kepada ulama yang berasal dari cina itu, Raden Ja’far Sodiq mewarisi bagian
dari sifat positif masyarakat cina yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam
mengejar atau mencapai cita-cita. Hal ini berpengaruh besar bagi kehidupan
dakwah Ja’far Sodiq dimasa akan datang yaitu tatkala menghadapi masyarakat yang
kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha.
Selanjutnya, Raden Ja’far Sodiq juga
berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun.
•Cara
Berdakwah yang Luwes
A. Strategi
Pendekatan kepada Massa
Sunan Kudus termasuk pendukung
gagasan, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang menerapkan strategi dakwah kepada
masyarakat sebagai berikut :
- Membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar dirubah. Mereka sepakat untuk tidak mempergunakan jalan kekerasan atau radikal menghadapi masyarakat yang demikian.
- Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dirubah maka segera dihilangkan.
- Tut Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit dan menerapkan prinsip Tut Wuri Hangiseni, artinya mengikuti dari belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.
- Menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara keras didalam cara menyiarkan agama Islam. Dengan prinsip mengambil ikan tetapi tidak mengeruhkan airnya.
- Pada akhirnya boleh saja merubah adat dan kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat Islam. Kalangan umat Islam yang sudah tebal imannya harus berusaha menarik simpati masyarakat non muslim agar mau mendekat dan tertarik dengan ajaran Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali dengan konsekuen. Sebab dengan melaksanakan ajaran Islam secara lengkap otomatis tingkah laku dan gerak-gerik mereka sudah merupakan dakwah nyata yang dapat memikat masyarakat non-muslim.
Strategi dakwah ini diterapkan oleh
Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati.
Karena siasat mereka dalam berdakwah tak sama dengan garis yang ditetapkan oleh
Sunan Ampel maka mereka disebut kaum Abangan atau Aliran Tuban. Sedang pendapat
Sunan Ampel yang didukung Sunan Giri dan Sunan Drajad disebut Kaum Putihan atau
Aliran Giri.
Namun atas inisiatif Sunan Kalijaga,
kedua pendapat yang berbeda itu pada akhinya dapat dikompromikan.
B. Merangkul
Masyarakat Hindu
Di Kudus pada waktu itu penduduknya
masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam
tentu bukannya pekerjaan mudah. Terlebih mereka yang masih memeluk kepercayaan
lama dan memegang teguh adat-istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Di dalam
masyarakat seperti itulah Ja’far Sodiq harus berjuang menegakkan agama.
Pada suatu hari Sunan Kudus
atau Ja’far Sodiq membeli seekor sapi (dalam riwayat lain disebut Kebo
Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa para pedagang asing dari
kapal besar.
Sapi itu ditambatkan dihalaman rumah
Sunan Kudus.
Rakyat Kudus yang kebanyakan
beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan Sunan
Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam pandangan Hindu adalah hewan suci yang
menjadi kendaraan para dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang
dikutuk para dewa. Lalu apa yang dilakukan Sunan Kudus?
Apakah Sunan Kudus hendak
menyembelih sapi dihadapan rakyat yang kebanyakan justru memujanya dan
menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus melukai hati rakyatnya
sendiri.
Dalam tempo singkat halaman rumah
Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang beragama Islam maupun Budha. Setelah
jumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam
rumahnya.
Sedulur-sedulur yang saya hormati,
segenap sanak kadang yang saya cintai, Sunan Kudus membuka suara.
Saya melarang
saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab diwaktu saya masih
kecil, saya pernah mengalami saat yang berbahaya, hampir mati kehausan lalu
seekor sapi datang menyusui saya.
Mendengar cerita tersebut para
pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka Ja’far Sodiq itu adalah
titisan dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan ceramahnya. Demi rasa
hormat saya kepada jenis hewn yang pernah menolong saya, maka dengan ini saya
melarang penduduk Kudus menyakiti atau menyembelih sapi.
Kontan para penduduk terpesona atas
kisah itu.
Sunan kudus melanjutkan, salah satu
diantara surat-surat Al-Qur’an yaitu surat yang kedua dinamakan Surat Sapi atau
dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah, kata Sunan Kudus.
Masyarakat semakin tertarik. Kok ada
sapi di dalam Al-Qur’an mereka menjadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah
mereka harus sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
Demikianlah, sesudah simpati itu
berhasil diraih akan lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat
berduyun-duyun masuk agama Islam.
Bentuk mesjid yang dibuat Sunan
Kudus pun tak jauh bedanya dengan candi-candi milik orang Hindu. Lihatlah
menara Kudus yang antik itu, yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh
dunia karena keanehannya. Dengan bentuknya yang mirip candi itu orang-orang
Hindu merasa akrab dan tidak takut atau segan masuk ke dalam mesjid guna
mendengarkan ceramah Sunan Kudus.
C. Merangkul
Masyarakat Budha
Sesudah berhasil menarik umat Hindu
kedalam agama Islam hanya karena sikap toleransi yang tinggi, yaitu menghormati
sapi yang dikeramatkan umat Hindu dan membangun menara mesjid mirip dengan
candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring umat Budha. Caranya? Memang
tidak mudah, harus kreatif dan tidak bersifat memaksa.
Sesudah mesjid berdiri, Sunan Kudus
membuat padasan atau tempat wudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan.
Masing-masing pancuran diberi arca kepala kebo gumarang diatasnya. Hal ini
disesuaikan dengan ajaran Budha, “Jalan berlipat delapan” atau Sanghika
Marga” yaitu :
- Harus memiliki pengetahuan yang benar
- Mengambil keputusan yang benar
- Berkata yang benar
- Hidup dengan cara yang benar
- Bekerja dengan benar
- Beribadah dengan benar
- Dan menghayati agama dengan benar.
Usahanya pun membuahkan hasil,
banyak umat Budha yang penasaran, untuk itu Sunan Kudus memasang lambang
wasiat Budha itu di padasan atau tempat berwudhu, sehingga mereka berdatangan
ke mesjid untuk mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
D. Selamatan
Mitoni
Didalam cerita tutur disebutkan
bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih
berpegang teguh pada adat istiadat lama.
Seperti diketahui, rakyat jawa
banyak melakukan adat istiadat yang aneh, yang kadang kala bertentangan dengan
ajaran Islam, misalnnya berkirim sesaji dikuburan untuk menunjukkan bela
sungkawa atau berduka cita atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga,
selamatan neloni. Mitoni dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan
upacara-upacara ritual tersebut dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau
mengarahkannya dalam bentuk Islami. Hal ini dilakukan juga oleh Sunan Kalijaga
dan Sunan Muria.
Contohnya, bila seorang isteri orang
jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukan acara selamatan yang disebut mitoni
sembari minta kepada dewa bahwa bila anaknya lahir supaya tampan seperti
Arjuna, jika anaknya perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih.
Adat tersebut tidak ditentang secara
keras oleh Sunan Kudus. Melainkan diarahkan dalam bentuk Islami.
Acara
selataman boleh terus dilakukan tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada
para dewa, melainkan bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang
dihidangkan boleh dibawa pulang. Sedangkan permintaannya langsung kepada Allah
dengan harapan anaknya lahir laki-laki akan berwajah seperti nabi Yusuf, dan
bila perempuan seperti Siti Maryam ibunda Nabi Isa. Untuk itu sang ayah dan ibu
harus sering membaca surat Yusuf dan surat Maryam dalam Al-Qur’an.
Sebelum acara selamatan dilaksanakan
diadakanlah pembacaan Layang Ambiya atau sejarah para Nabi. Biasanya yang
dibaca adalah bab Nabi Yusuf. Hingga sekarang acara pembacaan Layang Ambiya
yang berbentuk tembang Asmarandana, Pucung dll itu masih hidup di kalangan
masyarakat pedesaan.
Berbeda dengan cara lama, pihak tuan
rumah membuat sesaji dari berbagai jenis makanan, kemudian diikrarkan (hajatkan
dihajatan) oleh sang dukun atau tetua masyarakat setelah upacara sakral itu
dilakukan sesajinya tidak boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di
kuburan atau tempat-tempat sunyi dilingkungan tuan rumah.
Ketika pertama kali melaksanakan
gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu beliau mengundang seluruh
masyarakat. Baik yang Islam maupun yang Hindu dan Budha ke dalam mesjid. Dalam
undangan disebutkan hajat Sunan Kudus yang hendak Mitoni dan bersedekah atas
hamilnya sang isteri yang telah tiga bulan.
Sebelum masuk mesjid, rakyat harus
membasuh kaki dan tangannya dikolam yang sudah disediakan. Dikarenakan harus
membasuh tangan dan kaki inilah banyak rakyat yang tidak mau, terutama
dikalangan Hindu dan Budha. Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau terlalu
mementingkan pengenalan syariat berwudhu kepada masyarakat, tapi akibatnya
masyarakat malah menjauh. Apa sebabnya? Karena iman mereka atau tauhid mereka
belum terbina.
Maka pada kesempatan lain, Sunan
Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini tidak usah membasuh tangan dan
kakinya waktu masuk mesjid, hasilnya sungguh luar biasa. Masyarakat
berbondong-bondong memenuhi undangannya, disaat inilah Sunan Kudus menyisipkan
bab keimanan dalam agama Islam secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya
menyampaikan materi cukup cerdik, ketika rakyat tengah memusatkan perhatiannya
pada keterangan sunan Kudus tetapi karena waktu sudah terlalu lama, dan
dikuatirkan mereka jenuh Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya.
Cara tersebut kadang mengecewakan,
tapi disitulah letak segi positipnya, rakyat ingin tahu kelanjutan ceramahnya.
Dan pada kesempatan lain mereka datang lagi ke mesjid, baik dengan undangan
maupun tidak, karena ingin tahu itu demikian besar mereka tak peduli lagi pada
syarat yang diajukan Sunan Kudus yaitu membasuh kaki dan tangannya lebih
dahulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudhu.
Dengan demikian Sunan Kudus berhasil
menebus kesalahannya dimasa lalu. Rakyat menaruh simpati dan
menghormatinya. Cara-cara yang ditempuh untuk mengislamkan masyarakat cukup
banyak. Baik secara langsung melalui ceramah agama maupun adau kesaktian dan
melalui kesenian, beliaulah yang pertama kali menciptakan tembang Mijil dan
Maskumambang. Didalam tembang-tembang tersebut beliau sisipkan ajaran-ajaran
agama Islam.
•Sunan
Kudus di Negeri Mekkah
Didalam legenda dikisahkan bahwa
Raden Ja’far Sodiq itu suka mengembara, baik ke tanah Hindustan maupun ke tanah
Suci Mekkah.
Sewaktu berada di Mekkah beliau
menunaikan ibadah haji. Dan kebetulan disana ada wabah penyakit yang sukar
diatasi. Penguasa negeri arab mengadakan sayembara, siapa yang berhasil
melenyapkan wabah penyakit itu akan diberi hadiah harta benda yang cukup besar
jumlahnya.
Sudah banyak orang mencoba tapi
tidak pernah berhasil. Pada suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq menghadap
penguasa negeri itu tapi kedatangannya disambutnya dengan sinis.
Dengan apa tuan akan melenyapkan
wabah penyakit itu? Tanya sang Amir.
Dengan doa jawab Ja’far Sodiq
singkat.
Kalau hanya doa kami sudah puluhan
kali melakukannya, di tanah arab ini banyak ulama dan syekh-syekh ternama. Tapi
mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini.
Saya mengerti memang tanah arab ini
gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa ada saja kekurangannya sehingga doa
mereka tidak terkabulkan, kata Ja’far Sodiq.
Hem, sungguh bernai tuan mengatakan
demikian, kata amir itu dengan nada berang. Apa kekurangan mereka?
Anda sendiri yang menyebabkannya,
kata Ja’far Sodiq dengan tenangnya. Anda telah menjanjikan hadiah yang
menggelapkan mata hati mereka sehingga doa mereka tidak ikhlas. Mereka berdoa
hanya karena mengharapkan hadiah.
Sang Amir pun terbungkam seribu
bahasa atas jawaban itu.
Ja’far Sodiq lalu dipersilahkan
melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tak disia-siakan. Secara khusus Ja’far
Sodiq berdoa dan membaca beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit
mengganas dinegeri arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita
sakit keras secara mendadak langsung sembuh.
Bukan main senangnya hati sang Amir.
Rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikannya bermaksud
diberikan kepada Ja’far Sodiq.
Tapi Ja’far Sodiq menolaknya, dia
hanya ingin minta sebuah batu yang berasal dari Baitul Maqdis. Sang Amir
mengijinkannya. Batu itu pun dibawa ke tanah jawa, dipasang di pengimaman
mesjid Kudus yang didirikannya sekembali dari tanah suci.
Rakyat kota Kudus pada waktu itu
masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Para wali mengadakan sidang untuk
menentukan siapakah yang pantas berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Ja’far
Sodiq yang bertugas didaerah itu. Karena mesjid yang dibangunnya dinamakan
Kudus maka Raden Ja’far Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.
Asal
Usul Sunan Drajat
Nama asli Sunan Drajad adalah Raden
Qosim, beliau putera Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati dan merupakan
adik dari Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang.
Raden Qosim yang sudah mewarisi ilmu dari ayahnya kemudian diperintah untuk berdakwah di sebelah barat Gresik yaitu daerah kosong dari ulama besar antara Tuban dan Gresik.
Raden Qosim memulai perjalanannya
dengan naik perahu dari Gresik sesudah singgah ditempat Sunan Giri.
Dalam
perjalanan ke arah Barat itu perahu beliau tiba-tiba dihantam oleh ombak yang
besar sehingga menabrak karang dan hancur. Hampir saja Raden Qosim kehilangan
jiwanya. Tapi bila Tuhan belum menentukan ajal seseorang biar bagaimanapun
hebatnya kecelakaan pasti dia akan selamat, demikian pula halnya dengan Raden
Qosim. Secara kebetulan seekor ikan besar yaitu ikan talang datang kepada Raden
Qosim dan beliau pun menaiki punggung ikan tersebut hingga selamat ke tepi
pantai.
Raden Qosim sangat bersyukur dapat
lolos dari musibah itu. Beliau juga berterima kasih kepada ikan talang yang
telah menolongnya sampai ke tepi pantai. Untuk itu beliau berpesan kepada anak
keturunan beliau untuk tidak memakan daging ikan talang. Bila pesan ini
dilanggar akan mengakibatkan bencana, yaitu ditimpa penyakit yang tiada obatnya
lagi.
Ikan talang tersebut membawa Raden
Qosim hingga ke tepi pantai yang termasuk wilayah desa Jelag (sekarang termasuk
desa Banjarwati), kecamatan Paciran. Di tempat itu Raden Qosim disambut
masyarakat dengan antusias, lebih-lebih setelah mereka tahu bahwa Raden Qosim
adalah putera Sunan Ampel seorang wali besar dan masih terhitung
kerabat kerajaan Majapahit.
Di desa Jelag itu Raden Qosim
mendirikan pesantren, karena caranya menyiarkan agama Islam yang unik maka
banyaklah orang yang datang berguru kepadanya. Setelah menetap satu tahun di
desa Jelag, Raden Qosim mendapat ilham supaya menuju ke arah selatan, kira-kira
berjarak 1 km disana beliau mendirikan langgar atau surau untuk berdakwah.
Tiga tahun kemudian secara mantap
beliau mendapat petunjuk agar membangun tempat berdakwah yang strategis yaitu
ditempat ketinggian yang disebut Dalem Duwur. Di bukit yang disebut Dalem Duwur
itulah yang sekarang dibangun Museum Sunan Drajad, adapun makam Sunan Drajad
terletak di sebelah barat Museum tersebut.
Raden Qosim adalah pendukung aliran
putih yang dipimpin oleh Sunan Giri. Artinya dalam berdakwah menyebarkan
agama Islam beliau menganut jalan lurus, jalan yang tidak berliku-liku. Agama
harus diamalkan dengan lurus dan benar sesuai ajaran Nabi. Tidak boleh dicampur
dengan adat dan kepercayaan lama.
Meski demikian beliau juga
mempergunakan kesenian rakyat sebagai alat dakwah, didalam museum yang terletak
disebelah timur makamnya terdapat seperangkat bekas gamelan Jawa, hal itu
menunjukkan betapa tinggi penghargaan Sunan Drajad kepada kesenian Jawa.
Dalam catatan sejarah wali songo,
Raden Qosim disebut sebagai seorang wali yang hidupnya paling bersahaja, walau
dalam urusan dunia beliau juga rajin mencari rezeki. Hal itu disebabkan sikap
beliau yang dermawan. Dikalangan rakyat jelata beliau bersifat lemah
lembut dan sering menolong mereka yang menderita.
•Ajaran
Sunan Drajad yang Terkenal
Ajaran Sunan Drajad bersumber dari :
- Al-Quran
- Sunnah
- Ijma
- Qiyas
- Ajaran guru dan pendidik seperti Sunan Ampel
- Ajaran dan pemikiran atau paham yang telah tersebar luas di masyarakat
- Tradisi di masyarakat setempat yang telah ada yang sesuai dengan ajaran Islam, dan
- Fatwa Sunan Drajad sendiri.
Diantara ajaran beliau yang terkenal
adalah sebagai berikut:
Menehono teken marang wong wuto
Menehono mangan marang wong kan luwe
Menehono busono marang wong kang mudo
Menehono ngiyup marang wong kang kudanan
Menehono teken marang wong wuto
Menehono mangan marang wong kan luwe
Menehono busono marang wong kang mudo
Menehono ngiyup marang wong kang kudanan
Artinya kurang lebih demikian :
Berilah tongkat kepada orang buta
Berilah makan kepada orang yang kelaparan
Berilah pakaian kepada orang yang telanjang
Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan
Berilah tongkat kepada orang buta
Berilah makan kepada orang yang kelaparan
Berilah pakaian kepada orang yang telanjang
Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan
Adapun maksudnya adalah sebagai
berikut: Berilah petunjuk kepada orang bodoh (buta) Sejahterkanlah kehidupan
rakyat yang miskin (kurang makan) Ajarkanlah budi pekerti (etika) kepada yang
tidak tahu malu atau belum punya adab tinggi. Berilah perlindungan kepada
orang-orang yang menderita atau ditimpa bencana. Ajaran ini sangat supel,
siapapun dapat mengamalkannya sesuai dengan tingkat dan kemampuan
masing-masing. Bahkan pemeluk agama lainpun tidak berkeberatan untuk
mengamalkannya.
Tentang puncak
ma’rifat Sunan Drajad menuliskan perumpaannya sebagai berikut :
“Ilang, jenenge kawula,
Sirna datang ana keri,
Pan ilangwujudira,
Tegese wujude widi,
Ilang wujude iki,
Aneggih perlambangira,
Lir lintang karahinan,
Keserodotan sang hyang rawi,
Artinya:
Hilang jati diri makhluk,
Lenyap tiada tersisa,
Karena hilang wujud keberadaannya
Itulah juga wujud Tuhan,
Itulah yang ada ini,
Adapun persamaannya,
Seperti bintang diwaktu siang
Yang tersinari matahari.
Disamping terkenal sebagai seorang
wali yang berjiwa dermawan dan sosial, beliau jua dikenal sebagai anggota wali
songo yang turut serta mendukung dinasti Demak dan ikut pula mendirikan mesjid
Demak. Simbol kebesaran umat Islam pada waktu itu.
Dibidang kesenian, disamping
terkenal sebagai ahli ukir beliau juga pertama kali yang menciptakan Gending
Pangkur, hingga sekarang gending tersebut masih disukai rakyat jawa. Sunan
Drajad demikian gelar Raden Qosim, diberikan kepada beliau karena beliau
bertempat tinggal di sebuah bukit yang tinggi, seakan melambangkan tingkat
ilmunya yang tinggi, yaitu tingkat atau dejat para ulama muqarrobin. Ulama yang
dekat dengan Allah SWT.
Asal
Usul Sunan Gunung Jati
Dalam usia yang begitu muda Syarif
Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia ditunjuk untuk menggantikan
kedudukannya sebagai Raja Mesir tapi anak yang masih berusia dua puluh tahun
itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud pulang ke tanah jawa berdakwah di Jawa
Barat. Kedudukan ayahnya itu kemudian diberikan kepada adiknya yaitu Syarif
Nurullah.
Sewaktu berada di negeri Mesir
Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa ulam besar didaratan timur tengah.
Dalam usia muda itu ilmunya sudah sangat banyak, maka ketika pulang ke tanah
leluhurnya yaitu Jawa ia tidak merasa kesulitan melakukan dakwah.
•Perjuangan
Sunan Gunung Jati
Sering kali terjadi kerancuan antara
nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung Jati.
Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang
benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah seorang
penyebar Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan Gunung Jati. Sedangkan
Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim Sultan Trenggana membantu
Sunan Gunung Jati berperang melawan Portugis. Bukti bahwa Fatahillah bukan
Sunan Gunung Jati adalah makam dekat Sunan Gunung Jati yang ada tulisan Tubagus
Pasai adalah Fathullah atau Fatahillah atau Faletehan menurut Lidah Orang
Portugis……
Syarif Hidayatullah dan ibunya
Syarifah Muda’im datang ke negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475
sesudah mampir dahulu di Gujarat dan Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua
orang itu disambut gembira oleh Pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Syekh
Datuk Kahfi sudah wafat, guru Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda’im itu
dimakamkan di Pasambangan. Dengan alasan agar selalu dekat dengan makam
gurunya. Syarifah Muda’im minta diizinkan tinggal di Pasambangan atau Gunung
Jati.
Syarifah Muda’im dan puteranya
Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Datuk Lahfi. Sehingga kemudian hari
Syarif Hidayatullah terkenal sebagai Sunan Gunung Jati. Tibalah saat yang
ditentukan, pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi Pakungwati dengan
Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun 1479 karena usia lanjut
pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan negeri Caruban kepada Syarif
Hidayatullah dengan gelar Susuhan yaitu orang yang dijunjung tinggi.
Disebutkan, pada tahun pertama
pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk mengunjungi
kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam kembali tetapi
tidak mau. Meski Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya
menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran.
Syarif Hidayatullah kemudian
melanjutkan perjalanannya ke Serang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam
dikarenakan banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering singgah ke
tempat itu.
Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut baik oleh Adipati Banten.
Bahkan Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan puteri Adipati Banten yang bernama
Nyi Kawungten. Dari perkawinannya inilah kemudian Syarif Hidayatullah
dikaruniai dua orang putera yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking.
Dalam menyebarkan agama Islam di tanah jawa, Syarif Hidayatullah atau Sunan
Gunung Jati tidak bekerja sendirian, beliau sering bermusyawarah dengan anggota
para wali lainnya di mesjid Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu
berdirinya mesjid Demak.
Dari pergaulannya dengan Sultan
Demak dan para wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan
Kesultanan Pakungwati dan ia memploklamirkan diri sebagai raja yang pertama
dengan gelar Sultan. Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi
mengirim upeti kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh.
Dengan bergabungnya prajurit dan
perwira pilihan ke Cirebon maka makin bertambah besarlah pengaruh Kesultanan
Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti: Surakanta, Japura, Wanagiri, Telaga dan
lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah Keslutanan Cirebon. Lebih-lebih
dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah Kasultanan
Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri asing datang menjalin persahabatan.
Diantaranya dari negeri Tiongkok. Salah seorang keluarga istana Cirebon kawin
dengan pembesar dari negeri Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu Ma Huan. Maka
jalinan antara Cirebon dan negeri Cina makin erat.
Bahkan Sunan Gunung Jati pernah
diundang ke negeri Cina dan kawin dengan puteri Kaisar Cina bernama puteri Ong
Tien. Kaisar Cina pada saat itu dari dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan
perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin erat hubungan baik antara Cirebon dan
negeri Cina, hal ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk dimanfaatkan
dalam dunia perdagangan.
Sesudah kawin dengan Sunan Gunung
Jati, puteri Ong Tien diganti namanya menjadi Nyi Ratu Rara Semanding. Kaisar
ayah puteri Ong Tien ini membekali puterinya dengan harta benda yang tidak
sedikit. Sebagian besar barang-barang peninggalan puteri Ong Tien yang dibawa
dari negeri Cina itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan di tempat yang
aman. Istana dan Mesjid Cirebon kemudian dihiasi lagi dengan motif-motif hiasan
dinding dari negeri Cina.
Mesjid Agung Sang Ciptarasa dibangun
pada tahun 1980 atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati atau isteri Sunan Gunung
Jati. Dari pembangunan mesjid itu melibatkan banyak pihak, diantaranya Wali
Songo dan sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan
itu Sunan Kalijaga mendapat penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal sebagai
lambang persatuan umat. Selesai membangun mesjid, diteruskan dengan membangun
jalan raya yang menhubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya
untuk memperluas pengembangan Islam diseluruh tanah pasundan. Prabu Siliwangi
hanya bisa menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas
itu. Bahkan wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit.
Pada tahun 1511 Malaka diduduki oleh
bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin memperluas kekuasaannya ke pulau
jawa. Pelabuhan sunda kelapa yang jadi incaran mereka untuk menancapkan kuku
penjajahan. Demak Bintoro tahu bahaya besar yang mengancam kepulauan nusantara.
Oleh karena itu Raden Patah mengirim adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor
untuk menyerang Portugis di Malaka. Ada salah seorang pejuang Malaka yang ikut
ke tanah jawa yaitu Fatahillah. Ia bermaksud meneruskan perjuangannya di tanah
jawa. Dan dimasa Sultan Trenggana ia diangkat menjadi panglima perang.
Pengalaman adalah guru yang terbaik,
dari pengalamannya bertempur di Malaka tahulah Fatahillah titik-titik lemah
tentara dan siasat Portugis. Itu sebabnya dia dapat memberi komando dengan
tepat dan setiap serangan Demak-Cirebon selalu membawa hasil gemilang. Akhirnya
Portugis dan Pajajaran kalah, Portugis kembali ke Malaka, sedang tentara
Pajajaran cerai berai tak menentuk arahnya.
Selanjutnya Fatahillah ditugaskan
mengamankan Banten dari gangguan para pemberontak yaitu sisa-sisa pasukan
Pajajaran. Usaha ini tidak menemui kesulitan karena Fatahillah dibantu putera
Sunan Gunung Jati yang bernama Pangeran Sebakingking. Dikemudian hari Pangeran
Sebakingking ini menjadi penguasa Banten dengan gelar Pangeran Hasanuddin.
Kurang lebih sekitar tahun 1479,
Sunan Gunung Jati pergi ke daratan Cina dan tinggal didaerah Nan King. Di sana
ia digelari dengan sebutan Maulana Insanul Kamil.
Daratan Cina sejak lama dikenal
sebagai gudangnya ilmu pengobatan, maka disanalah Sunan Gunung Jati juga
berdakwah dengan jalan memanfaatkan ilmu pengobatan. Beliau menguasai ilmu
pengobatan tradisional.
Disamping itu , pada setiap gerakan fisik dari ibadah
Sholat sebenarnya merupakan gerakan ringan dari terapi pijat atau akupuntur,
terutama bila seseorang mau mendirikan Sholat dengan baik, benar lengkap dengan
amalan sunah dan tuma’ninahnya. Dengan mengajak masyarakat Cina agar tidak
makan daging babi yang mengandung cacing pita, dan giat mendirikan sholat lima
waktu, maka orang yang berobat kepada Sunan Gunung Jati banyak yang sembuh
sehingga nama Gunung Jati menjadi terkenal di seluruh daratan Cina.
Di negeri naga itu Sunan Gunung Jati
berkenalan dengan Jenderal Ceng Ho dan sekretaris kerajaan bernama Ma Huan,
serta Feis Hsin, ketiga orang ini sudah masuk Islam. Pada suatu ketika Sunan
Gunung Jati berkunjung ke hadapan kaisar Hong Gie, pengganti kaisar Yung Lo
dengan puteri kaisar yang bernama Ong Tien. Menurut versi lain yang mirip
sebuah legenda, sebenarnya kedatangan Sunan Gunung Jati di negeri Cina adalah
karena tidak sengaja. Pada suatu malam, beliau hendak melaksanakan sholat
tahajjud. Beliau hendak sholat di rumah tetapi tidak khusu’ lalu beliau sholat
di mesjid, di mesjid juga belum khusu’. Beliau heran padahal bagi para wali,
sholat tahajjud itu adalah kewajiban yang harus dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya. Kemudian Sunan Gunung Jati sholat diatas perahu dengan khusu’.
Bahkan dapat tidur dengan nyenyak setelah sholat dan berdo’a.
Ketika beliau terbangun beliau
merasa kaget. Daratan pulau jawa tidak nampak lagi. Tanpa sepengetahuannya
beliau telah dihanyutkan ombak hingga sampai ke negeri Cina. Di negeri Cina
beliau membuka praktek pengobatan. Pendudu Cina yang berobat disuruhnya
melaksanakan sholat. Setelah mengerjakan sholat mereka sembuh. Makin hari
namanya makin terkenal, beliau dianggap sebagai sinshe yang berkepandaian
tinggi terdengar oleh kaisar. Sunan Gunung Jati dipanggil keistana, kaisar
hendak menguji kepandaian Sunan Gunung Jati sebagai tabib dia pasti dapat
mengetahui mana seorang yang hamil muda atau belum hamil.
Dua orang puteri kaisar disuruh
maju. Seorang diantara mereka sudah bersuami dan sedang hamil muda atau baru
dua bulan. Sedang yang seorang lagi masih perawan namun perutnya diganjal
dengan bantal sehingga nampak seperti orang hamil. Sementara yang benar-benar
hamil perutnya masih kelihatan kecil sehingga nampak seperti orang yang belum
hamil. Hai tabib asing, mana diantara puteriku yang hamil? Tanya kaisar.
Sunan Gunung Jati diam sejenak. Ia
berdoa kepada Tuhan.
Hai orang asing mengapa kau diam?
Cepat kau jawab! Teriak kaisar Cina.
Dia! Jawab Sunan Gunung Jati sembari
menunjuk puteri Ong Tien yang masih Perawan. Kaisar tertawa terbahak-bahak
mendengar jawaban itu. Demikiann pula seluruh balairung istana kaisar.
Namun kemudian tawa mereka terhenti,
karena puteri Ong Tien menjerit keras sembari memegangi perutya.
Ayah! Saya benar-benar hamil.
Maka gemparlah seisi istana.
Ternyata bantal diperut Ong Tien telah lenyap entah kemana. Sementara perut
puteri cantik itu benar-benar membesar seperti orang hamil.
Kaisar menjadi murka. Sunan Gunung
Jati diusir dari daratan Cina. Sunan Gunung Jati menurut, hari itu juga ia
pamit pulau ke pulau jawa. Namun puteri Ong Tien ternyata terlanjur jatuh cinta
kepada Sunan Gunung Jati maka dia minta kepada ayahnya agar diperbolehkan
menyusul Sunan Gunung Jati ke pulau Jawa.
Kaisar Hong Gie akhirnya mengijinkan
puterinya menyusul Sunan Gunung Jati ke pulau Jawa. Puteri Ong Tien dibekali
harta benda dan barang-barang berharga lainnya seperti bokor, guci emas dan
permata. Puteri cantik itu dikawal oleh tiga orang pembesar kerajaan yaitu Pai
Li bang seorang menteri negara. Lie Guan Chang dan Lie Guan Hien. Pai Li Bang
adalah salah seorang murid Sunan Gunung Jati tatkala beliau berdakwah di Cina.
Dalam pelayarannya ke pulau jawa,
mereka singgah di kadipaten Sriwijaya. Begitu mereka datang para penduduk
menyambutnya dengan meriah sekali. Mereka merasa heran.
Ada apa ini? Pai Li Bang bertanya
kepada tetua masyarakat Sriwijaya.
Tetua masyarakat balik bertanya. Siapa
yang bernama Pai Li Bang?
Saya sendiri, jawab Pai Li Bang.
Kontan Pai Li Bang digotong penduduk
diatas tandu. Dielu-elukan sebagai pemimpin besar. Dia dibawa ke istana
Kadipaten Sriwijaya.
Setelah duduk dikursi Adipati, Pai
Li Bang bertanya, sebenarnya apa yang terjadi?
Tetua masyarakat itu menerangkan.
Bahwa adipati Ario Damar selaku pemegang kekuasaan Sriwijaya telah meninggal
dunia. Penduduk merasa bingung mencari penggantinya, karena putera Ario Damar
sudah menetap di Pulau Jawa. Yaitu Raden Fatah dan Raden Hasan.
Dalam kebingungan itulah muncul
Sunan Gunung Jati, beliau berpesan bahwa sebentar lagi akan datang rombongan
muridnya dari negeri Cina, namanya Pai Li Bang. Muridnya itulah yang pantas
menjadi pengganti Ario Damar. Sebab muridnya itu adalah seorang menteri negara
di negeri Cina.
Setelah berpesan begitu Sunan Gunung
Jati meneruskan pelayarannya ke pulau jawa. Pai Li Bang memang muridnya. Dia
semakin kagum dengan gurunya yang ternyata mengetahui sebelum kejadian, tahu
kalau dia bakal menyusul ke pulau jawa. Pai Li Bang tidak menolak keinginan
gurunya, dia bersedia menjadi adipati
Sriwijaya. Dalam pemerintahannya
Sriwijaya maju pesat sebagai kadipaten yang paling makmur dan aman.
Setelah Pai
Li Bang meninggal dunia maka nama kadipaten Sriwijaya diganti menjadi nama
kadipaten Pai Li Bang, dalam perkembangannya karena proses pengucapan lidah
orang Sriwijaya maka lama kelamaan kadipaten itu lebih dikenal dengan sebutan
Palembang hingga sekarang.
Sementara itu puteri Ong Tien
meneruskan pelayarannya hingga ke pulau jawa. Sampai di Cirebon dia mencari
Sunan Gunung Jati, tapi Sunan Gunung Jati sedang berada di Luragung. Puteri
itupun menyusulnya. Pernikahan antara puteri Ong Tien denga Sunan Gunung Jati
terjadi pada tahun 1481, tapi sayang pada tahun 1485 puteri Ong Tien meninggal
dunia. Maka jika anda berkunjung ke makam Sunan Gunung Jati di Cirebon jangan
lah merasa heran disana banyak ornamen cina dan nuansa cina lainnya. Memang
ornamen dan barang-barang antik itu berasal dari cina.
Wali songo selalu bermusyawarah
apabila menghadapi suatu masalah pelik yang berkembang di masyarakat. Termasuk
kebijakan dakwah yang mereka lakukan kepada masyarakat jawa.
Mula-mula sunan
Ampel tidak setuju atas cara dakwah yang dilakukan Sunan
Kalijagadan Sunan Bonang.
Namun Sunan Kudus mengajukan
pedapatnya. Saya setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga, bahwa adat
istiadat lama yang masih bisa diarahkan kepada agama tauhid maka kita akan
memberikannya warna Islami.
Sedang adat dan kepercayaan lama yang jelas-jelas
menjurus ke arah kemusyrikan kita tinggal sama sekali.
Sebagai misal, gamelan
dan wayang kulit, kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan selera
masyarakat. Adapun tentang kekuatiran kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai
keyakinan bahwa dibelakang hari akan ada orang yang menyempurnakannya.
Adanya dua pendapat yang seakan
bertentangan tersbut sebanarnya mengandung hikmah. Pendapat Sunan
Kalijaga dan
Sunan Kudus ada benarnya yaitu agar Islam cepat diterima oleh orang jawa, dan
ini terbukti, dikarenakan dua wali tersebut pandai mengawinkan adat istiadat
lama yang dapat ditolerir Islam maka penduduk jawa banyak yang
berbondong-bondong masuk agama Islam. Pada prinsipnya mereka mau menerima Islam
dengan lebih dahulu dan sedikit demi sedikit kemudian mereka akan diberi
pengertian akan kebersihan tauhid dalam iman mereka.
Sebaliknya, adanya pendapat Sunan
Ampel yang menginginkan Islam harus disiarkan dengan murni dan konsekuen juga
mengandung hikmah kebenaran yang hakiki, sehingga membuat umat semakin
berhati-hari menjalankan syariat agama secara benar dan bersih dari segala
macam bid’ah. Inilah jasa Sunan Ampel yang sangat besar, dengan peringatan
inilah beliau telah menyelamatkan aqidah umat agar tidak tergelincitr ke lembah
musyrik.
Asal
Usul Sunan Muria
Beliau adalah putera Sunan
Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said. Seperti ayahnya,
dalam berdakwah beliau menggunakan cara halus, ibarat mengambil ikan tidak
sampai mengeruhkan airnya. Itulah cara yang ditempuh untuk menyiarkan agama
Islam di sekitar Gunung Muria.
Tempat tinggal beliau di gunung
Muria yang salah satu puncaknya bernama Colo. Letaknya disebelah utara kota
Kudus. Sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat
jelata. Beliau lah satu-satu wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan
dan wayang sebagai alat dakwah untuk menyampaikan Islam. Dan beliau pula yang
menciptakan tembang Sinom dan Kinanti.
• Sakti
Mandraguna
Bahwa Sunan Muria itu adalah wali
yang sakti, kuat fisiknya dapat dibuktikan dengan letak padepokannya yang
terletak di atas gunung. Menuju ke makam Sunan Muria pun perlu tenaga ekstra
karena berada diatas bukit yang tinggi.
Bayangkanlah, jika sunan Muria dan
isterinya atau dengan muridnya setiap hari harus naik turun guna menyebarkan
agama Islam kepada penduduk setempat, atau berdakwah kepada para nelayan dan
pelaut serta para pedagang. Hal itu tidak dapat dilakukannya tanpa adanya fisik
yang kuat. Soalnya menunggang kuda tidak mungkin dapat dilakukan untuk mencapai
tempat tinggal Sunan Muria. Harus dengan jalan kaki. Itu berarti Sunan Muria
memiliki kesaktian yang tinggi, demikian pula dengan murid-muridnya.
Bukti bahwa Sunan Muria adalah
guru yang sakti mandraguna dapat ditemukan dalam kisah perkawinan dengan Dewi
Roroyono. Dewi Roroyono adalah puteri Sunan Ngerang, yaitu seorang ulama yang
disegani masyarakat karena ketinggian ilmunya, tempat tinggalnya di Juana.
Demikian saktinya Sunan Ngerang ini
sehingga Sunan Muria dan Sunan Kudus sampai-sampai berguru kepada
beliau.
Pada suatu hari Sunan Ngerang
mengadakan syukuran atas usia Dewi Roroyono yang genap 20 tahun. Murid-muridnya
diundang semua. Seperti : Sunan Muria, Sunan Kudus, Adipati Pathak Warak,
Kapa dan Adiknya Gentiri. Tetangga dekat jua diundang, demikian pula snak
kadang yang dari jauh.
Setelah tamu berkumpul Dewi Roroyono
dan adiknya Dewi Roro Pujiwati keluar menghidangkan makanan dan minuman.
Keduanya adalah dara-dara yang cantik jelita. Terutama Dewi Roroyono yang telah
berusia 20 tahun, bagaikan bunga yang sedang mekar-mekarnya.
Bagi Sunan Kudus dan Sunan
Muria yang sudah berbekal ilmu agama dapat menahan pandangan matanya sehingga
tidak terseret oleh godaan setan. Tapi seorang murid Sunan Ngerang yang lain
yaitu Adipati Pathak Warak memandang Dewi Roroyono dengan mata tidak berkedip
melihat kecantikan gadis itu.
Sewaktu menjadi cantrik atau murid
Sunan Ngerang, yaitu ketika Pthak Warak belum menjadi seorang Adipati, Roroyono
masih kecil, belum nampak benar kecantikannya yang mempesona, sekarang gadis itu
benar-benar membuat Adipati Pathak Warak tergila-gila. Sepasang matanya hampir
melotot memandangi gadis itu terus menerus.
Karena dibakar api asmara yang
menggelora, Pathak Warak tidak tahan lagi. Dia menggoda Roroyono dengan
ucapan-ucapan yang tidak pantas. Lebih-lebih setelah lelaki itu bertindak
kurang ajar.
Tentu saja Roroyono merasa malu
sekali, lebih-lebih ketiak lelaki itu berlaku kurang ajar dengan memegangi
bagian-bagian tubuhnya yang tak pantas disentuh. Si gadis naik pitam, nampan
berisi minuman yang dibawanya sengaja ditumpahkan ke pakaian sang adipati.
Pathak Warak menyumpah-nyumpah,
hatinya marah sekali diperlakukan seperti itu. Apalagi dilihatnya para tamu
undangan menertawakan kekonyolan itu, diapun semakin malu. Hampir saja Roroyono
ditamparnya kalau tidak ingat bahwa gadis itu adalah puteri gurunya.
Roroyono masuk kedalam kamarnya,
gadis itu menangis sejadi-jadinya karena dipermalukan oleh Pathak Warak.
Malam hari tamu-tamu dari dekat
sudah pulang ketempatnya masing-masing. Tamu dari jauh terpaksa menginap di
rumah Sunan Ngerang, termasuk Pathak Warak dan Sunan Muria. Namun hingga lewat
tengah malam Pathak Warak belum dapat memejamkan matanya.
Pathak Warak kemudian bangkit dari
tidurnya. Mengendap-ngendap ke kamar Roroyono. Gadis itu diserepnya sehingga
tidak sadarkan diri, kemudian melalui genteng Pathak Warak masuk dan membawa
lari gadis itu melalui jendela. Dewi Roroyono dibaw alari ke Mandalika,
wilayah Keling atau Kediri.
Setelah Sunan Ngerang mengetahui
bahwa puterinya diculik oleh Pathak Warak, maka beliau berikrar siapa saja yang
berhasil membawa puterinya kembali ke ngerang akan dijodohkan dengan puterinya
itu dan bila perempuan akan dijadikan saudara Dewi Roroyono. Tak ada yang
menyatakan kesanggupannya. Karena semua orang telah maklum akan kehebatan dan
kekejaman Pathak Warak. Hanya Sunan Muria yang bersedia memnuhi harapan Sunan
Ngerang.
Saya akan berusaha mengambil Diajeng
Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, kata Sunan Muria.
Tetapi ditengah perjalan Sunan Muria
bertemu dengan Kapa dan Gentiri, adik seperguruan yang lebih dulu pulang
sebelum acara syukuran berakhir. Kedua orang itu merasa heran melihat Sunan
Muria berlari cepat menuju arah daerah Keling.
Mengapa kakang tampak tergesa-gesa?
Tanya Kapa. Sunan Muria lalu menceritakan penculikan Dewi Roroyono yang
dilakukan oleh Pathak Warak.
Kapa dan Gentiri sangat menghormati
Sunan Muria sebagai saudara seperguruan yang lebih tua. Keduanya lantas
menyatakan diri untuk membantu Sunan Muria merebut kembali Dewi Roroyono.
Kakang sebaiknya pulang ke Padepokan
Gunung Muria. Murid-murid kakang sangat membutuhkan bimbingan. Biarlah kami
berusaha merebut diajeng Dewi Roroyono kembali. Kalau berhasil kakang tetap
berhak mengawininya, kami hanya sekedar membantu, kata kapa.
Aku masih sanggup untuk merebutnya
sendiri, ujar Sunan Muria.
Itu benar, tapi membimbing orang
memperdalam agama Islam lebih penting, percayalah pada kami. Kami pasti sanggup
merebutnya kembali, kata kapa ngotot.
Sunan Muria akhirnya meluluskan
permintaan adik seperguruannya itu. Rasanya tidak enak menolak seseorang yang
hendak berbuat baik. Lagi pula ia harus menengok para santrinya di padepokan
Gunung Muria.
Untuk merebut Dewi Roroyono dari
tangan Pathak Warak, Kapa dan Gentiri ternyata minta bantuan seorang Wiku Lodhang
Datuk di pulau Sprapat yang dikenal sebagai tokoh sakti yang jarang
tandingannya. Usaha itu berhasil. Dewi Roroyono dikembalikan ke Ngerang.
Hari berikutnya Sunan Muria hendak
ke Ngerang. Ingin mengetahui perkembangan usaha Kapa dan Gentiri. Ditengah jalan
beliau bertemu dengan Adipati Pathak Warak.
Hai Pathak Warak berhenti kau,
bentak Sunan Muria.
Pathak Warak yang sedang naik kuda
terpaksa berhenti karena Sunan Muria menghadang didepannya.
Minggir!! Jangan menghalangi
Jalanku, hardik Pathak Warak.
Boleh, asal kau kembalikan Dewi
Roroyono !
Goblok!! Dewi Roroyono sudah dibawa
Kapa dan Gentiri!! Kini aku hendak mengejar mereka!! Umpat Pathak Warak.
Untuk apa kau mengejar mereka?
Merebutnya kembali! Jawab Pathak
Warak dengan sengit.
Kalau begitu langkahi dulu mayatku,
Dewi Roroyono telah dijodohkan denganku, ujar Sunan Muria sambil pasang
kuda-kuda.
Tanpa basa basi Pathak Warak
melompat dari punggung kuda. Dia merangkak ke arah Sunan Muria dengan
jurus-jurus cakar harimau. Tapi dia bukan tandingan putera Sunan
Kalijaga yang memiliki segudang kesaktian.
Hanya dalam beberapa kali gebrakan,
Pathak Warak telah jatuh atau roboh di tanah dalam keadaan fatal. Seluruh
kesaktiannya lenyap dan ia menjadi lumpuh, tak mampu untuk bangkit berdiri
apalagi berjalan.
Sunan Muria kemudian meneruskan
perjalanan ke Juana. Kedatangannya disambut gembira oleh Sunan Ngerang. Karena
Kapa dan entiri telah bercerita jujur bahwa mereka sendirilah yang memaksa
mengambil alih tugas Sunan Muria mencari Dewi Roroyono, maka Sunan Ngerang pada
akhirnya menjodohkan Dewi Roroyono dengan Sunan Muria. Upacara pernikahan pun
segera dilaksanakan.
Kapa dan Gentiri yang berjasa besar
itu diberi hadiah tanah di desa Buntar. Dengan hadiah itu keduanya sudah
menjadi orang kaya yang hidupnya serba berkecukupan.
Sedang Sunan Muria memboyong
isterinya ke Padepokan Gunung Muria. Mereka hidup Bahagia, karena merupakan
pasangan yang ideal.
Tidak demikian halnya dengan Kapa
dan Gentiri. Sewaktu membawa Dewi Roroyono dari keling ke Ngerang agaknya
mereka terlanjur terpesona oleh kecantikan wanita jelita itu. Siang malam
mereka tidak bisa tidur. Wajah wanita itu senantiasa terbayang. Namun karena
wanita itu sudah diperisteri kakak seperguruannya mereka tak dapat berbuat
apa-apa lagi. Hanya penyesalan yang menghujam didada.
Mengapa mereka dulu
terburu-buru menawarkan jasa baiknya. Betapa enaknya Sunan Muria, tanpa
bersusah payah sekarang menikmati kebahagiaan bersama gadis yang mereka
dambakan. Inilah hikmah ajaran agama agar lelaki diharuskan menahan pandangan matanya
dan menjaga kehotmatan (kemaluan) mereka.
Andaikata Kapa dan Gentiri tidak
memandang terus menerus kearah wajah dan tubuh Dewi Roroyono yang indah itu
pasti mereka tidak akan terpesona dan tidak terjerat oleh iblis yang memasang
perangkap pada pandangan mereka.
Kini Kapa dan Gentiri benar-benar
telah dirasuki iblis. Mereka bertekad hendak merebut Dewi Roroyono dari tangan
Sunan Muria. Mereka telah sepakat untuk menjadikan wanita itu sebagai isteri
bersama secara bergiliran. Sungguh keji rencana mereka.
Gentiri berangkat lebih dahulu ke
Gunung Muria. Namun ketika ia hendak melaksanakan niatnya dipergoki oleh murid
Sunan Muria, terjadilah pertempuran dahsyat. Apalagi ketika Sunan Muria keluar
menghadapi Gentiri, suasana menjadi semakin panas. Akhirnya gentiri tewas
menemui ajalnya di puncak Gunung Muria.
Kematian Gentiri cepat tersebar ke
berbagai daerah. Tapi tidak membuat surut niat Kapa. Kapa cukup cerdik. Dia
datang ke gunung Muria secara diam-diam dimalam hari. Tak seorangpun yang
mengetahuinya.
Kebetulan pada saat itu Sunan Muria
dan beberapa murid pilihannya sedang bepergian ke Demak Bintoro.
Kapa menyerep
murid-murid Sunan Muria yang berilmu rendah, yang ditugaskan menjaga Dewi
Roroyono.
Kemudian yang dengan mudahnya Kapa menculik dan membawa wanita
impiannya itu ke pulau sprapat.
Pada saat yang sama, sepulangnya
dari Demak Bintoro. Sunan Muria bermaksud mengadakan kunjungan kepada Wiku
Lodhang Datuk di pulau Sprapat. Ini biasanya dilakukannya bersahabat dengan
pemeluk agama lain bukanlah suatu dosa. Terlebih sang Wiku itu pernah
meneolongnya merebut Dewi Roroyono dari Pathak Warak.
Seperti ajaran Sunan
Kalijaga yang mampu hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain dalam
suatu negeri. Lalu ditunjukkan akhlak Islam yang mulia dan agung. Bukannya berdebat
tentang perbedaan agama itu sendiri. Dengan menerapkan ajaran-ajaran akhlak
yang mulia itu nyatanya banyak pemeluk agama lain yang pada akhirnya tertarik
dan masuk Islam secara sukarela.
Ternyata, kedatangan Kapa ke pulau
Sparapat itu tidak disambut baik oleh Wiku Lodhang Datuk.
Memalukan! Benar-benar nista
perbuatanmu itu! Cepat kembalikan isteri kakang seperguruanmu sendiri itu!
Hardik Wiku Lodhang Datuk dengan marah.
Bapa Guru ini bagaiman, bukakah aku
ini muridmu? Mengapa tidak kau bela? Protes Kapa.
Sampai matipun aku takkan sudi
membela kebejatan budi pekerti walau pelakunya itu muridku sendiri !
Perdebatan antara guru dengan murid
itu berlangsung lama. Tanpa mereka sadari Sunan Muria sudah sampai ditempat
itu. Betapa terkejutnya Sunan Muria melihat isterinya sedang tergolek ditanah
dalam keadaan terikat kaki dan tangannya. Sementara Kapa dilihatnya sedang adu
mulut dengan gurunya yaitu Wiku Lodhang Datuk.
Begitu mengetahui kedatangan Sunan
Muria, Kapa Langsung melancarkan serangan dengan jurus-jurus maut. Wiku Lodhang
Datuk menjauh, melangkah menuju Dewi Roroyono untuk membebaskan belenggu yang
dilakukan Kapa.
Bersamaan dengan selesainya sang
Wiku membuka tali yang mengikat tubuh Dewi Roroyono. Tiba-tiba terdengar
jeritan keras dari mulut Kapa.
Ternyata serangan dengan pengerahan
aji kesaktian yang dilakukan Kapa berbalik menghantam dirinya sendiri. Itulah
ilmu yang dimiliki Sunan Muria. Mampu membalikkan serangan lawan.
Karena Kapa menggunakan aji
pamungkas yaitu puncak kesaktian yang dimilikinya maka ilmu itu akhirnya
merenggut nyawanya sendiri.
Maafkan saya tuan Wiku….,ujar Sunan
Muria agak menyesal. Tidak mengapa. Menyesal aku turut memberikan ilmu
kepadanya. Ternyata ilmu itu digunakan untuk jalan kejahatan, gumam Sang Wiku.
Bagaimanapun Kapa adalah muridnya,
pantaslah kalau dia menguburkannya secara layak.
Pada akhirnya Dewi Roroyono dan
Sunan Muria kembali ke Padepokan dan hidup bahagia.
Asal
Usul Sunan Ampel
Tahukah anda dengan daerah Bukhara? Bukhara terletak di
Samarqand. Sejak dahulu daerah Samarqand dikenal sebagai daerah Islam yang
melahirkan ulama-ulama besar seperti Imam Bukhari yang mashur sebagai pewaris
hadist shahih.
Disamarqand ini ada seorang ulama
besar bernama Syekh Jamalluddin Jumadil Kubra, seorang Ahlussunnah bermazhab
syafi’I, beliau mempunyai seorang putera bernama Ibrahim, dan karena berasal
dari samarqand maka Ibrahim kemudian mendapatkan tambahan nama Samarqandi.
Orang jawa sukar menyebutkan Samarqandi maka mereka hanya menyebutnya sebagai
Syekh Ibrahim Asmarakandi.
Syekh Ibrahim Asmarakandi ini
diperintah oleh ayahnya yaitu Syekh Jamalluddin Jumadil Kubra untuk berdakwah
ke negara-negara Asia. Perintah inilah yang dilaksanakan dan kemudian beliau
diambil menantu oleh Raja Cempa, dijodohkan dengan puteri Raja Cempa yang
bernama Dewi Candrawulan.
Negeri Cempa ini menurut sebagian
ahli sejarah terletak di Muangthai. Dari perkawinan dengan Dewi Candrawulan
maka Syekh Ibrahim Asmarakandi mendapat dua orang putera yaitu Sayyid Ali
Rahmatullah dan Sayyid Ali Murtadho. Sedangkan adik Dewi Candrawulan yang
bernama Dewi Dwarawati diperisteri oleh Prabu Brawijaya Majapahit. Dengan
demikian keduanya adalah keponakan Ratu Majapahit dan tergolong putera
bangsawan atau pangeran kerajaan. Para pangeran atau bangsawan kerajaan pada
waktu itu mendapat gelar Rahadian yang artinya Tuanku, dalam proses selanjutnya
sebutan ini cukup dipersingkat dengan Raden.
Raja Majapahit sangat senang
mendapat isteri dari negeri Cempa yang wajahnya dan kepribadiannya sangat
memikat hati. Sehingga isteri-isteri yang lainnya diceraikan,
banyak yang diberikan kepada para adipatinya yang tersebar di seluruh
Nusantara. Salah satu contoh adalah isteri yang bernama Dewi Kian, seorang
puteri Cina yang diberikan kepada Adipati Ario Damar di Palembang.
Ketika Dewi Kian diceraikan dan
diberikan kepada Ario Damar saat itu sedang hamil tiga bulan. Ario Damar
menggauli puteri Cina itu sampai si jabang bayi terlahir kedunia. Bayi yang
lahir dari Dewi Kian itulah yang nantunya bernama Raden Hasan atau lebih
dikenal dengan nama “ Raden Patah “, salah satu seorang daru murid Sunan
Ampel yang menjadi Raja di Demak Bintoro.
Kerajaan Majapahit sesudah ditinggal
Mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk mengalami kemunduran Drastis.
Kerajaan terpecah belah karena terjadinya perang saudara. Dan para adipati
banyak yang tidak loyal dengan keturunan Prabu Hayam Wuruk yaitu
Prabu Brawijaya Kertabumi.
Pajak dan upeti kerajaan tidak ada
yang sampai ke istana Majapahit. Lebih sering dinikmati oleh para adipati itu
sendiri. Hal ini membuat sang Prabu bersedih hati. Lebih-lebih lagi dengan
adanya kebiasaan buruk kaum bangsawan dan para pangeran yang suka berpesta pora
dan main judi serta mabuk-mabukan. Prabu Brawijaya sadar betul bila kebiasaan
semacam ini diteruskan negara/kerjaan akan menjadi lemah dan jika kerajaan
sudah kehilangan kekuasaan betapa mudahnya bagi musuh untuk menghancurkan
Majapahit Raya.
Ratu Dwarawati, yaitu isteri Prabu
Brawijaya mengetahui kerisauan hati suaminya. Dengan memberanikan diri dia
mengajukan pendapat kepada suaminya. Saya mempunyai seorang keponakan yang ahli
mendidik dalam hal mengatasi kemerosotan budi pekerti, kata Ratu Dwarawati.
Betulkah? Tanya sang Prabu . Ya,
namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putera dari kanda Dewi Candrawulan di negeri
Cempa. Bila kanda berkenan saya akan meminta Ramanda Prabu di Cempa untuk
mendatangkan Ali Rahmatullah ke Majapahit ini.
Tentu saja aku merasa senang bila Rama
Prabu di Cempa Berkenan mengirimkan Sayyid Ali Rahmatullah ini kata Prabu
Brawijaya.
•Ketanah
Jawa
Maka pada suatu ketika
diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke negeri Cempa untuk meminta Sayyid
Ali Rahmatullah datang ke Majapahit. Kedatangan utusan tersebut disambut
gembira oleh Raja Cempa, dan Raja Cempa bersedia mengirim cucunya ke Majapahit
untuk meluaskan pengalaman.
Keberangkatan Sayyid Ali
Rahmatullah ke tanah Jawa tidak sendirian. Ia ditemani oleh ayah dan
kakaknya. Sebagaimana disebutkan diatas, ayah Sayyid Ali Rahmatullah adalah
Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan kakaknya bernama Sayyid Ali Murtadho.
Diduga tidak langsung ke Majapahit, melainkan terlebih dahulu ke Tuban. Di
Tuban tepatnya di desa Gesikharjo, Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh
sakit dan meninggak dunia, beliau dimakamkan di desa tersebut yang masih
termasuk kecamatan Palang Kabupaten Tuban.
Sayyid Murtadho kemudian meneruskan
perjalanan, beliau berdakwah keliling daerah Nusa Tenggara, Madura dan sampai
ke Bima. Disana beliau mendapat sebutan raja Pandita Bima, dan akhirnya
berdakwah di Gresik mendapat sebutan Raden Santri, beliau wafat dan dimakamkan
di Gresik, Sayyid Ali Rahmatullah meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap
Prabu Brawijaya sesuai permintaan Ratu Dwarawati.
Kapal layar yang ditumpanginya
mendarat dipelabuhan Canggu. Kedatangannya disambut dengan suka cita oleh Prabu
Brawijaya. Ratu Dwarawati bibinya sendiri memeluknya erat-erat seolah-olah
sedang memeluk kakak perempuannya yang di negeri Cempa. Karena wajah Sayyid Ali
Rahmatullah memang sangat mirip dengan kakak perempuannya.
Nanda Rahmatullah, bersediakah
engkau memberikan pelajaran atau mendidik kaum bangsawan dan rakyat Majapahit
agar mempunyai budi pekerti mulia!! Tanya sang Prabu kepada Sayyid Ali
Rahmatullah setelah beristirahat melepas lelah. Dengan sikapnya yang sopan
santun tutur kata yang halus Sayyid Ali Rahmatullah menjawab. Dengan senang
hati Gusti Prabu, saya akan berusaha sekuat-kuatnya untuk mencurahkan kemampuan
saya mendidik mereka.
Bagus! Sahut sang Prabu. “Bila
demikian kau akan kuberi hadiah sebidang tanah berikut bangunannya di Surabaya.
Disanalah kau akan mendidik para bangsawan dan pangeran Majapahit agar berbudi
pekerti mulia.”
“Terima kasih saya haturkan Gusti
Prabu”, Jawab Sayyid Ali Rahmatullah. Disebutkan dalam literatur bahwa
selanjutnya Sayyid Ali Rahmatullah menetap beberapa hari di istana Majapahit
dan dijodohkan dengan salah satu puteri Majapahit yang bernama Dewi Candrowati
atau Nyai Ageng Manila. Dengan demikian Sayyid Ali Rahmtullah adalah salah
seorang Pangeran Majapahit, karena dia adalah menantu Raja Majapahit.
Semenjak Sayyid Ali Rahmatullah
diambil menantu Raja Brawijaya maka beliau adalah anggota keluarga kerajaan
Majapahit atau salah seorang pangeran, para pangeran pada jaman dahulu ditandai
dengan nama depan Rahadian atau Raden yang berati Tuanku. Selanjutnya beliau
lebih dikenal dengan sebutan Raden Rahmat.
3. Ampeldenta
Selanjutnya, pada hari yang telah
ditentukan berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke sebuah daerah di Surabaya
yang kemudian disebut dengan Ampeldenta.
Rombongan itu melalui desa Krian,
Wonokromo terus memasuki Kembangkuning. Selama dalam perjalanan beliau juga
berdakwah kepada penduduk setempat yang dilaluinya. Dakwah yang pertama kali
dilakukannya cukup unik. Beliau membuat kerajinan berbentuk kipas yang terbuat
dari akar tumbuh-tumbuhan tertentu dan anyaman rotan. Kipas-kipas ini dibagikan
kepada penduduk setempat secara gratis. Para penduduk hanya cukup menukarkannya
dengan kalimah syahadat.
Penduduk yang menerima kipas itu
merasa sangat senang. Terlebih setelah mereka mengetahui kipas itu bukan
sembarang kipas, akar yang dianyam bersama rotan itu ternyata berdaya penyembuh
bagi mereka yang terkena penyakit batuk dan demam. Dengan cara itu semakin
banyak orang yang berdatangan kepada Raden Rahmat. Pada saat demikianlah ia
memperkenalkan keindahan agama Islam sesuai tingkat pemahaman mereka.
Cara itu terus dilakukan sehingga
rombongan memasuki desa kembang kuning. Pada saat itu kawasan desa kembang
kuning belum seluas sekarang ini. Disana sini masih banyak hutan dan digenangi
air atau rawa-rawa. Dengan karomahnya Raden Rahmat bersama rombongan membuka
hutan dan mendirikan tempat sembahyang sederhana atau langgar. Tempat
sembahyang itu sekarang dirubah menjadi mesjid yang cukup besar dan bagus
dinamakan sesuai dengan nama Raden Rahmat yaitu Mesjid Rahmat Kembang Kuning.
Ditempat itu pula Raden Rahmat
bertemu dan berkenalan dengan dua tokoh masyarakat yaitu Ki Wiryo Sarojo dan Ki
Bang Kuning. Kedua tokoh masyarakat itu bersama keluarganya masuk Islam dan
menjadi pengikut Raden Rahmat.
Dengan adanya kedua tokoh masyarakat
itu maka semakin mudah bagi Raden Rahmat untuk mengadakan pendekatan kepada
masyarakat sekitarnya. Terutama kepada masyarakat yang masih memegang teguh
adat kepercayaan lama. Beliau tidak langsung melarang mereka, melainkan
memberikan pengertian sedikit demi sedikit tentang pentingnya ajaran
ketauhidan. Jika mereka sudah mengenal tauhid atau keimanan kepada Tuhan
Pencipta Alam, maka secara otomatis mereka akan meninggalkan sendiri kepecayaan
lama yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Setelah sampai ditempat tujuan,
pertama kali yang dilakukannya adalah membangun mesjid sebagai pusat kegiatan
ibadah. Ini meneladani apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW saat pertama kali
sampai di Madinah.
Dan karena menetap di desa
Ampeldenta, menjadi penguasa daerah tersebut maka kemudian beliau dikenal
sebagai Sunan Ampel. Sunan berasal dari kata Susuhunan yang artinya yang
dijunjung tinggi atau panutan masyarakat setempat. Ada juga yang mengatakan
Sunan berasal dari kata Suhu Nan artinya Guru Besar atau orang yang berilmu
tinggi.
Selanjutnya beliau mendirikan
pesantren tempat mendidik putra bangsawan dan pangeran Majapahit
serta siapa saja yang mau datang berguru kepada beliau.
4. Ajarannya
yang terkenal
Hasil didikan mereka yang terkenal
adalah falsafah Moh Limo atau tidak mau melakukan lima hal tercela yaitu :
- Moh Main atau tidak mau berjudi
- Moh Ngombe atau tidak mau minum arak atau bermabuk-mabukan
- Moh Maling atau tidak mau mencuri
- Moh Madat atau tidak mau mengisap candu, ganja dan lain-lain.
- Moh Madon atau tidak mau berzinah/main perempuan yang bukan isterinya.
Prabu Brawijaya sangat senang atas
hasil didikan Raden Rahmat. Raja menganggap agama Islam itu adalah ajaran budi
pekerti yang mulia, maka ketika Raden Rahmat kemudian mengumumkan ajarannya
adalah agama Islam maka Prabu Brawijaya tidak marah, hanya saja ketika dia
diajak untuk memeluk agama Islam ia tidak mau. Ia ingin menjadi raja Budha yang
terakhir di Majapahit.
Raden Rahmat diperbolehkan
menyiarkan agama Islam di wilayah Surabaya bahkan diseluruh wilayah Majapahit,
dengan catatan bahwa rakyat tidak boleh dipaksa, Raden Rahmat pun memberi
penjelasan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.
5. Sesepuh
Wali Songo
Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim
wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh Wali Songo, sebagai Mufti atau
pemimpin agama Islam se-Tanah Jawa. Beberapa murid dan putera Sunan Ampel
sendiri menjadi anggota Wali Songo, mereka adalah Sunan Giri, Sunan Bonang,
Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kota atau Raden Patah, Sunan
Kudus dan Sunan Gunung Jati.
Raden Patah atau Sunan Kota memang
pernah menjadi anggota Wali Songo menggantikan kedudukan salah seorang wali
yang meninggal dunia. Dengan diangkatnya Sunan Ampel sebagai sesepuh maka para
wali lain tunduk patuh kepada kata-katanya. Termasuk fatwa beliau dalam
memutuskan peperangan dengan pihak Majapahit.
Para wali yang lebih muda
menginginkan agar tahta Majapahit direbut dalam tempo secepat-cepatnya. Tetapi
Sunan Ampel berpendapat bahwa masalah tahta Majapahit tidak perlu diserang
secara langsung, karena kerajaan besar itu sesungguhnya sudah keropos dari dalam,
tak usah diserang oleh Demak Bintoro sebenarnya Majapahit akan segera runtuh.
Para wali yang lebih muda menganggap Sunan Ampel terlalu lamban dalam
memberikan nasehat kepada Raden Patah.
“Mengapa Ramanda berpendapat
demikian?” tanya Raden Patah yang juga adalah menantunya sendiri.
“Krena aku
tidak ingin di kemudian hari ada orang menuduh Raja Demak Bintoro yang masih
putera Raja Majapahit Prabu Kertabumi telah berlaku durhaka, yaitu berani
menyerang ayahandanya sendiri”. Jawab Sunan Ampel dengan tenang.
“Lalu apa yang harus saya lakukan?”
“Kau harus sabar menunggu sembari
menyusun kekuatan”, ujar Sunan Ampel. “Tak lama lagi Majapahit akan runtuh dari
dalam, diserang Adipati lain. Pada saat itulah kau berhak merebut hak warismu
selaku putera Prabu Kertabumi”.
“Majapahit diserang adipati lain?
Apakah saya tidak berkwajiban membelanya?”
“Inilah ketentuan Tuhan”,sahut Sunan
Ampel. Waktu kejadiannya masih dirahasiakan. Aku sendiri tidak tahu persis
kapankah persitiwa itu akan berlangsung. Yang jelas bukan kau adipati yang
menyerang Majapahit itu. Sunan Ampel adalah penasehat Politik Demak Bintoro
sekaligus merangkap Pemimpin Wali Songo atau Mufti Agama se-Tanah Jawa. Maka
fatwa nya dipatuhi semua orang.
Kekhawatiran Sunan Ampel pun
terbukti. Dikemudian hari ternyata orang-orang pembenci Islam memutar balikkan
fakta sejarah, mereka menuliskan bahwa Majapahit jatuh diserang oleh kerajaan
Demak Bintoro yang rajanya adalah putera raja Majaphit sendiri. Dengan demikian
Raden Patah dianggap sebagai anak durhaka. Ini dapat anda lihat didalam serat
darmo gandul maupun sejarah yang ditulis sarjana kristen pembenci Islam.
Raden Patah dan para wali lainnya
akhirnya tunduk patuh pada fatwa Sunan Ampel. Tibalah saatnya Sunan Ampel Wafat
pada tahun 1478 M. Sunan Kalijaga diangkat sebagai penasehat bagian politik
Demak, Sunan Giri diangkat sebagai pengganti Sunan Ampel sebagai Mufti,
pemimpin para wali dan pemimpn agama se-Tanah Jawa.setelah Sunan Giri diangkat
sebagai Mufti sikapnya terhadap Majapahit sekarang berubah. Ia mneyetujui
aliran tuban untuk memberi fatwa kepada Raden Patah agar menyerang Majapahit.
Mengapa Sunan Giri bersikap
demikian?
Karena pada tahun 1478 kerjaan
Majapahit diserang oleh Prabu Rana Wijaya atau Girindrawardhana dari kadipaten
kediri atau keling. Dengan demikian sudah tepatlah jika Sunan Giri meneyetujui
penyerangan Demak atas Majapahit. Sebab pewaris sah tahta kerajaan Majapahit
adalah Raden Patah selaku putera Raja Majapahit yang terakhir.
Demak kemudian bersiap-siap menyusun
kekuatan. Namun belum lagi serangan dilancarkan. Prabu Wijaya keburu tewas
diserang oleh Prabu Udara pada tahun 1498.
Pada tahun 1512, Prabu Udara selaku
Raja Majapahit merasa terancam kedudukannya karena melihat kedudukan Demak yang
didukung Giri Kedaton semakin kuat dan mapan. Prabu udara kuatir jika terjadi
peperangan akan menderita kekalahan, maka dia minta bekerjasama dan minta
bantuan Portugis di Malaka. Padahal putera mahkota Demak yaitu Pati Unus pada
tahun1511 telah menyerang Protugis.
Sejarah telah mencatat bahwa Prabu
Udara telah mengirim utusan ke Malaka untu menemui Alfinso d’Albuquerque untuk
menyerahkan hadiah berupa 20 genta (ggamelan), sepotong kain panjang bernama
“Beirami” tenunan kambayat, 13 batang lembing yang ujungnya berbesi dan
sebagainya. Maka tidak salah jika pada tahun 1517 Demak menyerang Prabu Udara
yang merampas tahta majapahit secara sah. Dengan demikian jatuhlah Majapahit ke
tangan Demak. Seandainya Demak tidak segera menyerang Majapahit tentunya bangsa
Portugis akan menjajah Tanah Jawa jauh lebih cepat daripada Bangsa Belanda.
Setelah Majapahit jatuh pusaka kerajaan diboyong ke Demak Bintoro. Termasuk
mahkota rajanya. Raden Patah diangkat sebagai raja Demak yang pertama.
Sunan Ampel juga turut membantu
mendirikan Mesjid Agung Demak yang didirikan pada tahun 1477 M. Salah satu
diantara empat tiang utama mesjid Demak hingga sekarang masih diberi nama
sesuai dengan yang membuatnya yaitu Sunan Ampel.
Beliau pula yang pertama kali
menciptakan huruf pegon atau tulisan arab berbunyi bahasa Jawa. Dengan huruf pegin
ini beliau dapat menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada para muridnya. Hingga
sekarang huruf pegon tetap diapaki sebagai bahan pelajaran agama Islam
dikalangan pesantren.
6. Penyelamat
Aqidah
Sikap Sunan Ampel terhadap adat
istiadat lama sangat hati-hati, hal ini didukung pleh Sunan Giri dan Sunan
Drajad. Seperti yang pernah tersebut dalam permusyawaratan para wali di mesjid
Agung Demak. Pada waktu itu Sunan Kalijaga Mengusulkan agar adat istiadat Jawa
seperti selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa
keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan Ampel.
“Apakah tidak mengkhawatirkan dikemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara
lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam, jika hal
ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah?”
Dalam musyawarah itu Sunan Kudus
menjawab pertanyaan Sunan Ampel, “Saya setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga,
bahwa adat istiadat lama yang masih bisa diarahkan kepada ajaran Tauhid kita
akan memberinya warna Islami. Sedang adat dan kepercayaan lama yang jelas-jelas
menjurus kearah kemusyrikan kita tinggal sama sekali. Sebagai misal, gamelan
dan wayang kulit kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan selera
masyarakat. Adapun tentang kekhawatiran kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai
keyakinan bahwa dibelakang hari akan ada orang yang menyempurnakannya.
Adanya dua pendapat yang seakan
bertentangan tersebut sebenarnya mengandung hikmah. Pendapat Sunan Kalijaga dan
Sunan Kudus ada benarnya yaitu agar agama Islam cepat diterima oleh orang jawa,
dan hal ini terbukti, dikarekan dua wali tersebut pandai mengawinkan adat
istiadat lama yang dapat ditolerir Islam maka penduduk jawa banyak yang
berbondong-bondong masuk agama Islam.
Sebaliknya, adanya pendapat Sunan
Ampel yang menginginkan Islam harus disiarkan dengan murni dan konsekuen juga
mengandung hikmah kebenaran yang hakiki, sehingga membuat umat semakin
berhati-hati menjalankan syariat agama secara benar dan bersih dari segala
macam bid’ah. Inilah jasa Sunan Ampel yang sangat besar, dengan peringatan
inilah beliau telah menyelamatkan aqidah umat agar tidak tergelincir kelembah
kemusyrikan.
Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M,
beliau dimakamkan di sebelah Barat Mesjid Ampel.
7. Murid-murid
Sunan Ampel
Sebagaimana disebutkan dimuka
murid-murid Sunan Ampel itu banyak sekali, baik dari kalangan bangsawan dan
para pangeran Majapahit maupun dari kalangan rakyat jelata. Bahkan beberapa
anggota Wali Songo adalah murid-murid beliau sendiri.
Kali ini kita tampilkan kisah dua
orang murid Sunan Ampel yang makamnya tak jauh dari lokasi Sunan Ampel
dimakamkan yaitu :
Kisah Mbah Soleh
Mbah Soleh adalah salah satu dari
sekian banyak murid Sunan Ampel yang mempunyai karomah atau keistimewaan luar
biasa.
Adalah sebuah keajaiban yang tak ada
duanya, ada seorang manusia dikubur hingga sembilan kali. Ini bukan cerita
buatan melainkan ada buktinya. Disebelah timur mesjid Agung Sunan Ampel ada
sembilan kuburan. Itu bukan kuburan sembilan orang tapi hanya kuburan satu
orang yaitu murid Sunan Ampel yang bernama Mbah Soleh.
Kisahnya demikian, Mbah Soleh adalah
seorang tukang sapu mesjid Ampel dimasa hidupnya Sunan Ampel. Apabila menyapu
lantai sangatlah bersih sekali sehingga orang yang sujud di mesjid tanpa
sajadah tidak merasa ada debunya.
Ketika Mbah Soleh wafat beliau
dikubur didepan mesjid. Ternyata tidak ada santri yang sanggup mengerjakan
pekerjaan Mbah Soleh yaitu menyapu lantai mesjid dengan bersih sekali. Maka
sejak ditinggal Mbah Soleh mesjid itu lantainya menjadi kotor. Kemudian
terucaplah kata-kata Sunan Ampel, bila Mbah Soleh masih hidup tentulah mesjid
ini menjadi bersih.
Mendadak Mbah Soleh ada dipengimaman
mesjid sedang menyapu lantai. Seluruh lantaipun sekarang menjadi bersih lagi.
Orang-orang pada terheran melihat Mbah Soleh hidup lagi.
Beberapa bulan kemudian Mbah Soleh
wafat lagi dan dikubur disamping kuburannya yang dulu. Mesjid menjadi kotor
lagi, lalu terucaplah kata-kata Sunan Ampel seperti dulu. Mbah Soleh pun hidup
lagi. Hal ini berlangsung beberapa kali sehingga kuburannya ada delapan. Pada
saat kuburan Mbah Soleh ada delapan Sunan Ampel meninggalkan dunia. Beberapa
bulan kemudian Mbah Soleh meninggal dunia sehingga kuburan Mbah Soleh ada
sembilan. Kuburan yang terakhir berada di ujung sebelah timur.
Kisah Mbah Sonhaji
Mbah Sonhaji sering disebut Mbah
Bolong. Apa pasalnya? Ini bukan gelar kosong atau sekedar olok-olokan. Beliau
adalah salah seorang murid Sunan Ampel yang mempunyai karomah luar biasa.
Kisahnya demikian, pada waktu
pembangunan mesjid Agung Ampel Mbah Sonhaji lah yang ditugasi mengatur tata
letak pengimamannya. Mbah Sonhaji bekerja dengan tekun dan penuh perhitungan,
jangan sampai letak pengimaman mesjid tidak menghadap arah kiblat. Tapi setelah
pembangunan pengimaman itu jadi banyak orang yang meragukan
keakuratannya.
Apa betul letak pengimaman mesjid
ini sudah menghadap ke kiblat? Demikian tanya orang meragukan pekerjaan Mbah
Sonhaji.
Mbah Sonhaji tidak menjawab,
melainkan melubangi dinding pengimaman sebelah barat lalu berkata, lihatlah
kedalam lubang ini, kalian akan tahu apakah pengimaman ini sudah menghadap
kiblat atau belum?.
Orang-orang itu segera melihat
kedalam lubang yang dibuat oleh Mbah Sonhaji. Ternyata didalam lubang itu
mereka dapat melihat Ka’bah yang berada di Mekah. Orang-orang ada melongo,
terkejut, kagum dan akhirnya tak berani meremehkan Mbah Sonhaji lagi. Dan sejak
itu mereka bersikap hormat kepada Mbah Sonhaji dan mereka memberinya julukan
Mbah Bolong.
Asal Usul Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga itu aslinya bernama
Raden Said. Putera Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilakita.
Tumenggung Wilakita seringkali
disebut Raden Sahur, walau dia termasuk keturunan Ranggawale yang beragama
Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah masuk agama Islam.
Sejak kecil Raden Said sudah
diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban. Tetapi karena
melihat keadaan sekitar atau lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan
rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak.
Gelora jiwa muda Raden Said seakan
meledak-ledak manakala melihat praktek oknum pejabat kadipaten Tuban disaat
menarik pajak pada penduduk atau rakyat jelata.
Rakyat yang pada waktu itu sudah
sangat menderita dikarenakan adanya musim kemarau panjang, semakin sengsara,
mereka harus membayar pajak yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang
ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk
persediaan menghadapi musim panen berikutnya sudah disita para penarik pajak.
Walau Raden Said putera seorang
bangsawan dia lebih menyukai kehidupan bebas, yang tidak terikat adat istiadat
kebangsawanan. Dia gemar bergaul dengan rakyat jelata atau dengan segala
lapisan masyarakat, dari yang paling bawah hingga yang paling atas. Justru
karena pergaulannya yang supel itulah dia banyak mengetahui seluk beluk
kehidupan rakyat Tuban.
Niat untuk mengurangi penderitaan
rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya. Tapi agaknya ayahnya tak bisa berbuat
banyak. Dia cukup memahaminya pula posisi ayahnya sebagai adipati bawahan
Majapahit. Tapi niatnya itu tidak pernah padam. Jika malam-malam sebelumnya dia
sering berada di dalam kamarnya sembari mengumandangkan ayat-ayat suci
Al-Qur’an maka sekarang dia keluar rumah.
Di saat penjaga gudang Kadipaten
tertidur lelap, Raden Said mengambil sebagian hasil bumi yang ditarik dari
rakyat untuk disetorkan ke Majapahit. Bahan makanan itu dibagi-bagikan kepada
rakyat yang sangat membutuhkannya. Hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan
mereka.
Tentu saja rakyat yang tak tahu
apa-apa itu menjadi kaget bercampur girang menerima rezeki yang tak
diduga-duga. Walau mereka tak pernah tahu siapa gerangan yang memberikan rezeki
itu karena Raden Said melakukannya dimalam hari secara
sembunyi-sembunyi.
Bukan hanya rakyat yang terkejut
atas rezeki yang seakan turun dari langit itu. Penjaga gudang kadipaten juga
merasa kaget, hatinya kebat-kebit karena makin hari barang-barang yang hendak
disetorkan ke pusat kerajaan Majapahit itu semakin berkurang.
Ia ingin mengetahui siapakah pencuri
barang hasil bumi di dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja mengintip dari
kejauhan, dari balik sebuah rumah tak jauh dari gudang kadipaten.
Dugaannya benar, ada seseorang yang
membuka pintu gudang, hampir tak berkedip penjaga gudang itu
memperhatikan pencuri itu. Dia hampir tak percaya pencuri itu adalah Raden Said
putera junjungannya sendiri.
Untuk melaporkannya sendiri kepada
adipati Wilatikta ia tak berani. Kuatir dianggap membuat fitnah. Maka penjaga
gudang itu hanya minta dua orang saksi dari sang adipati untuk memergoki
pencuri yang mengambil hasil bumi rakyat yang tersimpan di gudang.
Raden Said tak pernah menyangka
bahwa malam itu perbuatannya bakal ketahuan. Ketika ia hendak keluar adari
gudang sambil membawa bahan-bahan makanan tiga orang prajurit kadipaten
menangkapnya, beserta barang bukti yang dibawanya. Raden Said dibawa ke hadapan
ayahnya.
Adipati Wilatikta marah melihat
perbuatan anaknya itu. Raden Said tidak menjawab untuk apakah dia mencuri
barang-barang hasil bumi yang hendak disetorkan ke Majapahit.
Tapi untuk itu Raden Said harus
mendapat hukuman, karena kejahatan mencuri itu baru pertama kali dilakukannya
maka ia hanya mendapat hukuman cambuk dua ratus kali pada tangannya. Kemudian
disekap selama beberapa hari, tak boleh keluar rumah. Jerakah Raden Said atas
hukuman yang sudah diterimanya?
Sesudah keluar dari hukuman dia
benar-beanr keluar dari lingkungan istana. Tak pernah pulang sehingga membuat
cemas ibu dan adiknya. Apa yang dilakukan Raden Said selanjutnya?
Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian
serba hitam dan kemudian merampok harta orang-orang kaya di kabupaten tuban.
Terutama orang kaya yang pelit dan para pejabat yang curang.
Harta hasil rampokan itu
diberikannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang menderita lainnya. Tapi
ketika perbuatannya itu mencapai titik jenuh ada saja orang yang bermaksud
mencelakakannya.
Ada seorang pemimpin perampok sejati
yang mengetahui aksi Raden Said menjarah harta pejabat kaya, kemudian pemimpin
perampok itu mengenakan pakaian serupa dengan pakaian Raden Said, bahkan juga
mengenakan topeng seperti Raden Said juga.
Pada suatu malam Raden Said baru
saja menyelesaikan sholat isya mendengar jerit tangis para penduduk desa
kampunya sedang djarah perampok.
Dia segera mendatangi tempat
kejadian itu. Begitu mengetahui kedatangan Raden Said kawanan perampok itu
segera berhamburan melarikan diri. Tinggal pemimpin mereka yang sedang asik
memperkosa seorang gadis cantik.
Raden Said mendobrak pintu rumah
sigadis yang sedang diperkosa. Didalam sebuah kamar dia melihat seorang
berpakaian seperti dirinya, juga mengenakan topeng serupa sedang berusaha
mengenakan pakaiannya kembaili. Rupanya dia sudah selesai memperkosa gadis
tersebut.
Raden Said berusaha menangkap
perampok itu namun pemimpin perampok itu berhasil melarikan diri. Mendadak
terdenganr suara kentongan dipukul bertalu-talu, penduduk dari kampung lain
berdatangan ke tempat itu. Pada saat itulah si gadis yang baru diperkosa
perampok tadi menangkap erat-erat tangan Raden Said. Raden Said jadi panik dan
kebingungan. Para pemuda dari kampung lain menerobos masuk dengan senjata
terhunus. Raden Said ditangkap dan dibawa ke rumah kepala desa.
Kepala desa yang merasa penasaran
mencoba membuka topeng di wajah Raden Said. Begitu mengetahui siapa orang
dibalik topeng itu sang kepada desa menjadi terbungkam. Sama sekali tak
disangkanya bahwa perampok itu adalah putera junjungannya sendiri yaitu Raden
Said. Gegerlah masyarakat pada saat itu, Raden Said dianggap perampok dan
pemerkosa. Si gadis yang diperkosa adalah bukti dan saksi hidup atas kejadian
itu.
Sang kepala desa masih berusaha
menutup aib junjungannya. Diam-diam ia membawa Raden Said ke istana kadipaten
tuban tanpa sepengetahuan orang.
Tentu saja sang adipati jadi murka.
Raden Said di usir dari wilayah kadipaten tuban.
Pergi dari kadipaten tuban ini! Kau
telah mencoreng nama baik keluargamu sendiri, pergi! Jangan kembali sebelum kau
dapat menggetarkan dinding-dinding istana kadipaten tuban ini dengan ayat-ayat
Al-Qur’an yang sering kau baca di malam hari.
Sang adipati Wilatikta juga sangat
terpukul atas kejadian itu. Raden Said yang diharapkan dapat menggantikan
kedudukannya ternyata telah menutup kemungkinan ke arah itu, sirna sudah segala
harapan sang adipati.
Hanya ada satu orang yang dapat
mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden Said itu
berjiwa luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Dewi Rasawulan
yang sangat menyayangi kakaknya itu merasa kasihan tanpa sepengetahuan ayah dan
ibunya dia meninggalkan istana kadipaten tuban untuk mencari Raden Said untuk
diajak pulang.
•Mencari
Guru Sejati
Kemanakah Raden Said sesudah diusir
dari kadipaten tuban, ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya
dia menetap dihutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun ia menjadi perampok
budiman. Mengapa disebut perampok budiman? Karena hasil rampokkannya itu tak
pernah dimakannya. Seperti dahulu, selalu diberikan kepada fakir miskin.
Yang dirampoknya hanya para hartawan
atau orang kaya kikir, tidak menyantuni rakyat jelata. Dan tidak mau membayar
zakat.
Di hutan Jatiwangi dia membuang nama
aslinya. Orang menyebutnya dengan Brandal Lokajaya.
Pada suatu hari, ada seorang
berjubah putih lewat hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal lokajaya sudah
mengincarnya. Orang itu membawa tongkat yang gagangnya berkilauan.
Terus diawasinya orang tua berjubang
putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya. Tanpa banyak bicara lagi
direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkat itu
dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu jatuh tersungkur.
Dengan susah payah orang itu bangun,
sepasang matanya mengeluarkan air walau tak ada suara tangis dari mulutnya.
Raden Said pada saat itu sedang mengamati gagang tongkat yang
dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja
terbuat dari kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti
emas. Raden Said heran melihat orang tua itu menangis. Segera diulurkannya
kembali tongkat itu. Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan.
Bukan tongkat ini yang kutangisi
ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput ditangannya.
Lihatlah ! aku telah berbuat dosa, berbuat kesia-siaan. Rumput ini tercabut
ketika aku jatuh tersungkur tadi.
Hanyam beberapa lembar rumput. Kau
merasa berdosa? Tanya Raden Said heran.
Ya, memang berdosa! Karena kau
mencabutnya tanpa sesuatu keperluan. Andaikata kucabut guna makanan ternak itu
tidak mengapa. Tapi untuk sesuatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa jawab
lelaki itu.
Hari Raden Said bergetar atas
jawaban yang mengandung nilai iman itu.
Anak muda sesungguhnya apa yang kau
cari dihutan ini?
Saya menginginkan harta?
Untuk apa?
Saya berikan kepada fakir miskin dan
penduduk yang menderita,.. hem…sungguh mulia hatimu, sayang…caramu
mendapatkannya yang keliru.
Orang tua….apa maksudmu?
Boleh aku bertanya anak muda? Desah
orang tua itu. Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah
tindakanmu itu benar?
Sungguh perbuatan bodoh sahut Raden
Said. Hanya menambah kotor dan bau pakaian saja.
Lelaki itu tersenyum, demikianlah
amal yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang didapat secara haram
atau mencuri itu sama halnya dengan mencuci pakaian dengan air kencing.
Raden Said tercekat. Lelaki itu
melanjutkan ucapannya. Allah itu adalah zat yang baik, hanya menerima amal dari
barang yang baik atau halal.
Raden Said makin tercengang
mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai menghujam lubuk hatinya. Betapa
keliru perbuatannya selama ini. Dipandangnya sekali lagi wajah lelaki tua itu.
Agung dan berwibawa namun mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai suka
dan tertarik dengan lelaki tua berjubah putih tersebut.
Banyak hal yang terkait dengan usaha
mengentaskan kemiskinan dan penderitaan rakyat pada saat ini. Kau tidak
bisa merubahnya hanya dengan memberi bantuan makan dan uang kepada para
penduduk miskin. Kau harus memperingatkan pada penguasa yang zalim agar mau
mengubah caranya memerintah yang sewenang-wenang, kau juga harus dapat
membimbing rakyat agar dapat meningkatkan taraf kehidupannya.
Raden Said semakin terpana, ucapan
seperti itulah yang didambakannya selama ini. Kalau kau tak mau kerja keras dan
hanya ingin beramal dengan cara yang mudah maka ambillah itu. Itu barang halal.
Ambillah sesukamu!
Berkata demikian lelaki itu menunjuk
pada sebatang pohon aren. Seketika itu pohon berubah menjadi emas.
Sepasang mata Raden Said terbelalak. Dia adalah seorang pemuda sakti dan banyak
ragam pengalaman yang telah dikecapnya. Berbagai ilmu yang aneh-aneh telah
dipelajarinya. Dia mengira orang itu mempergunakan ilmu sihir. Kalau benar
orang itu mengeluarkan ilmu sihir ia pasti dapat mengatasinya.
Tapi setelah mengerahkan ilmunya,
pohon aren itu tetap berubah menjadi emas. Berarti orang tua itu tidak
menggunakan sihir. Ia benar-benar merasa heran dan penasaran, ilmu apakah yang
telah dipergunakan orang tua itu sehingga mampu merubah pohon menjadi
emas.
Raden Said terdiam beberapa saat
ditempatnya berdiri. Dia mencoba memanjat pohon aren itu. Benar-benar berubah
jadi emas seluruhnya. Ia ingin mengambil buah aren yang telah berubah menjadi
emas berkilauan itu. Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala
Raden Said. Pemuda itu jatuh terjerembab ke tanah roboh dan pingsan.
Ketika sadar, buah aren yang rontok
itu telah berubah menjadi hijau seperti aren-aren yang lainnya. Raden Said
bangkit berdiri, mencari orang tua berjubah putih tadi. Tapi yang dicari nya
sudah tidak ada ditempat.
Ucapan orang tua tadi masih
terngiang ditelinganya. Tentang beramal dengan barang haram yang disamakan
dengan mencuci pakaian dengan air kencing. Tentang berbagai hal yang terkait
dengan upaya memberantas kemiskinan.
Raden Said mengejar oarang itu.
Segenap kemampuan dikerahkannya untuk berlari cepat akhirnya dia dapat melihat
bayangan orang tua itu dari kejauhan.
Sepertinya santai saja orang itu
melangkahkan kakinya tapi Raden Said tak pernah bisa menyusulnya. Jatuh bangun
terseok-seok dan berlari lagi, demikianlah setelah tenaganya habis terkuras dia
baru bisa sampai dibelakang lelaki berjubah putih itu.
Lelaki berjubah putih itu berhenti,
bukan karena kehadiran Raden Said melainkan didepannya terbentang sungai cukup
lebar. Tak ada jembatan dan sungai itu tampaknya sangat dalam dengan apa dia
harus menyeberang.
Tunggu……, ucap Raden Said ketika
melihat orang tua itu hendak melangkahkan kakinya lagi.
Sudilah kiranya tuan menerima saya
sebagai murid…..pintanya.
Menjadi muridku? Tanya orang tua itu
sembari menoleh. Mau belajar apa?
Apa saja, asal tuan manerima saya
sebagai murid….
Berat, berat sekali anak muda,
bersediakah engkau menerima syarat-syaratnya?
Saya bersedia….
Lelaki itu kemudian menancapkan
tongkatnya ditepi sungai. Raden Said diperintah menunggui tongkat itu. Tak
boleh beranjak dari tempat itu sebelum orang tua itu kembali menemuinya.
Raden Said bersedia menerima syarat
ujian itu.
Selanjutnya lelaki itu menyeberangi
sungai. Sepasang mata Raden Said terbelalak heran, lelaki itu berjalan diatas
air bagaikan berjalan di daratan saja. Kakinya tidak basah terkena air, ia
semakin yakin calon gurunya itu adalah seorang lelaki berilmu tinggi, waskita
dan mungkin saja golongan para wali.
Setelah lelaki tuan itu hilang dari
pandangan Raden Said, pemuda ini duduk bersila dia teringat suatu kisah ajaib
yang dibacanya didalam Al-Qur’an yaitu kisah Ashabul Kahfi, maka ia segera
berdoa kepada Tuhan supaya ditidurkan seperti para pemuda di goa kahfi ratusan
tahun yang silam.
Doanya dikabulkan. Raden Said
tertidur dalam semedinya selama tiga tahun. Akar dan rerumputan telah merambati
tubuhnya dan hampir menutupi sebagian besar anggota tubuhnya.
Setelah tiga tahun lelaki berjubah
putih itu datang menemui Raden Said. Tapi Raden Said tak bisa dibangunkan.
Barulah setelah mengumandangkan adzan pemuda itu membuka sepasang matanya.
Tubuh Raden Said dibersihkan, diberi
pakaian baru yang bersih. Kemudian dibawa ke tuban mengapa dibawa ke tuban?
Karena lelaki berjubah putih itu adalah sunan Bonang. Raden Said kemudian
diberi pelajaran agama sesuai dengan tingkatannya yaitu tingkat para
waliyullah. Dikemudian hari Raden Said terkenal dengan sebutan Sunan Kalijaga.
Kalijaga artinya orang yang menjaga
sungai, karena dia pernah bertapa ditepi sungai. Ada yang mengartikan Sunan
Kalijaga adalah penjaga aliran kepercayaan yang hidup pada masa itu. Dijaga
maksudnya supaya tidak membahayakan umat, melainkan diarahkan kepada ajaran
Islam yang benar.
Ada juga yang mengartikan legenda
pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang hanya sekedar simbol saja. Kemanapun
Sunan Bonang pergi selalu membawa tongkat atau pegangan hidup., itu artinya
Sunan Bonang selalu membawa agama, membawa iman sebagai petunjuk jalan
kehidupan.
Raden Said kemudian disuruh
menunggui tongkat atau agama di tepi sungai. Itu artinya Raden Said diperintah
untuk terjun kedalam kancah masyarakat jawa yang banyak mempunyai aliran
kepercayaan dan masih berpegang pada agama lama yaitu Hindu dan Budha.
Sunan Bonang mampu berjalan diatas
air sungai tanpa amblas ke dalam sungai. Bahkan tidak terkena percikan
air sungai. Itu artinya Sunan Bonang dapat bergaul dengan masyarakat yang
berbeda agama tanpa kehilangan identitas agama yang dianut oleh Sunan Bonang
sendiri yaitu Islam.
•Kerinduan
Seorang Ibu
Setelah bertahun-tahun ditinggalkan
kedua anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta seperti kehilangan gairah hidup.
Terlebih setelah usah adipati tuban menangkap para perampok yang mengacau
kadipaten tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden Said seketika terguncang.
Kebetulan saat ditangkap oleh
prajurit tuban, kepala perampok itu mengenakan pakaian dan topeng yang
persis dengan yang dikenakan oleh Raden Said. Rahasia yang selama ini tertutup
rapat terbongkarlah sudah. Dari pengakuan perampok itu tahulah adipati tuban
bahwa Raden Said tidak bersalah.
Ibu Raden Said menangis
sejadi-jadinya. Dia benar-benar telah menyesal mengusir anak yang sangat
disayanginya itu, sang ibu tak pernah tau bahwa anak yang didambakannya itu
bertahun-tahun kemudian sudah kembali ke tuban. Hanya saja tidak langsung ke
istana kadipaten tuban, melainkan ke tempat tinggal Sunan Bonang.
Untuk mengobati kerinduan sang ibu,
tidak jarang Raden Said mengerahkan ilmunya yang tinggi. Yaitu membaca Qur’an
jarak jauh lau suaranya dikirim ke istana tuban.
Suara Raden Said yang merdu itu
benar-benar menggetarkan dinding istana kadipaten. Bahkan mengguncangkan
isi hati adipati tuban dan isternya. Tapi Raden Said, masih belum menampakkan
dirinya. Banyak tugas yang masih dikerjakannya. Diantaranya menemukan adiknya
kembali. Pada akhinya, dia kembali bersama adiknya yaitu Dewi Rasawulan. Tak
terkirakan betapa bahagianya adipati tuban dan isterinya menerima kedatangan
putera-puterinya yang sangat dicintainya itu.
Karena Raden Said tidak bersedia
menggantikan kedudukan ayahnya akhirnya kedudukan adipati tuban diberikan
kepada cucunya sendiri yaitu putera Dewi Rasawulan dan Empu Supa.
Raden Said meneruskan
pengembaraannya, berdakwah atau menyebarkan agama Islam di jawa tengah hingga
ke jawa barat. Beliau sangat arif dan bijaksana dalam berdakwah sehingga dapat
ditermia dan dianggap sebagai guru suci se tanah jawa. Dalam usia lanjut beliau
memilih Kadilangu sebagai tempat tinggalnya yang terakhir. Hingga sekarang
beliau dimakamkan di Kadilangu, Demak. Semoga amal perjuangan nya diterima di
sisi Allah.
Sumber : http://hidayahulama.wordpress.com/category/wali-allah/page/2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar