TRIBUNNEWS.COM - Selama orde baru berkuasa, puluhan tahun Megawati tabah dan
bersabar. Intimidasi, teror, pendzaliman, pengkerdilan dan pengucilan bahkan
pembunuhan secara sosial dan politik terhadap ajaran dan trah Soekarno
terus berlangsung dan semakin menjadi.
PDI yang dianggap sebagai eksistensi
Soekarno
berusaha dilenyapkan dengan cara mencabut akarnya dari trah Soekarno. Adalah
Suryadi boneka dan tumbal fasisme Penguasa Orba mengambil alih PDI dari
Megawati.
Puncak pendzaliman terhadap Megawati
terjadi tanggal 27 Juli 1996.Penyerbuan dan pembunuhan brutal di kantor PDI
pimpinan Megawati Jl. Diponegoro no 58 Menteng.
Komnas HAM pimpinan Munawir Sadzali
dan Baharuddin Lopa mencatat dalam laporan akhir, peristiwa kelam yang dikenal
dengan Kudatuli itu menelan korban jiwa: 5 orang tewas, 23 orang hilang dan 149
orang terluka. Selain itu ada 136 orang yang ditahan.
Komnas HAM juga mencatat bahwa
terdapat pertemuan tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya dipimpin oleh Kasdam Jaya
Brigjen Susilo Bambang Yudoyono (sekarang Presiden RI).
Hadir pada rapat itu adalah Brigjen
Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso dan Alex Widya
Siregar.
Dalam rapat itu, Susilo Bambang
Yudhoyono memutuskan penyerbuan atau pengambilalihan Kantor DPP PDI oleh Kodam
Jaya.
Tanggal 21 Mei 1998 Soeharto jatuh,
Habibie tampil menjadi Presiden RI.Pemilu dipercepat, digelar tahun
1999.Kebencian terhadap Soeharto dan orde baru begitu hebat dan terjadi arus
balik, trah Soekarno kembali mendapat kepercayaan dari rakyat
Indonesia.
Gegap gempita rakyat bak menyambut
kembalinya Soekarno, pemilu tahun 1999 PDIP menang besar dengan perolehan suara
33,74% atau153kursi DPRRI.
Walaupun menang gilang gemilang,
Megawati harus bersabar lagi, karena DPR lebih memilih Abdurahman Wahid menjadi
Presiden dan Megawati menjadi wakil Presiden.
Megawati menggenggam puncak
kekuasaan setelah Presiden Gus Dur dijatuhkan oleh Parlemen tanggal 23 Juli
2001.Mega nampaknya memaafkan orang orang yang telah “menyakitinya bahkan
membunuhnya” selama orde baru.
Mungkin Mega menyadari bahwa mereka
hanyalah para anak buah yang harus menjalankan perintah atasanya. Sutiyoso
tetap didukung menjadi Gubernur DKI untuk kedua kalinya dan SBY diangkat
menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan.
Mega kembali diuji kesabaranya
karena kemudian ternyata SBY yang dipercaya menjadi Menkopolkam “berkhianat”
dengan mendirikan dan membangun partai Demokrat untuk kendaraanya menjadi
Presiden RI.
SBY berhasil mempecundangi Mega
dalam dua kali pemilihan umum Presiden yaitu tahun 2004 dan tahun 2010.
Beberapa kali SBY menawarkan koalisi “kemewahan” kepada Mega, namun Mega
kokoh dan memilih oposisi “ laku tirakat”.
Jika selama orde baru yang sangat
represif dan kejam Mega berhasil lulus, maka laku tirakat dijaman SBY bukanlah
hal yang sulit bagi Mega.
Laku Tirakat Mega selama 10
tahun terakhir membuahkan hasil. PDIP kembali menjadi magnet, memenangkan
Pemilu legislative 2014 dengan angka sekitar 19 persen dan 109 kursi DPRRI.
Sebaliknya SBY dan “laku sengkuni”
juga mendapatkan hasil dengan angka 10 persen dari sebelumnya 21 persen.
Yang sangat mengejutkan lagi, laku
tirakat Mega terus berlanjut, maqam spiritual dan politiknya terus naik
meninggalkan hiruk pikuk kemewahan kekuasaan.
Dengan kesadaran luar biasa Megawati
“menyerahkan”kekuasaan kepada orang lain, bukan trah Soekarno, hanya rakyat
biasa dari pinggir bengawan Solo, orang itu bernama Joko Widodo.
Ternyata Mega begitu menyadari bahwa
pada saatnya harus lengser keprabon dan Madeg Pandhito.
Laku madeg Pandito yang dilakukan
Megawati, mengingatkan kepada Sosok Ratu Kalinyamat.Seorang Ratu yang mempunyai
nama asli Retno Kencono, pernah memimpin Jepara yang berpusat di Kalinyamat.
Jepara adalah salah satu daerah
kekuasaan Demak.Saat saat terakhir keruntuhan Demak terjadi chaos karena
perebutan kekuasaan antara Haryo Penangsang dan Ratu Kalinyamat.
Atas kesadaran penuh, Ratu
Kalinyamat meninggalkan segala gemerlap dan kemewahan kerajaan, memilih laku
Madeg Pandito yang sangat terkenal dengan sebutan “ Laku Topo Wudo Sinjang
Rambut”, di Lereng Gunung Donorojo.
Kerajaan Demak dan Jepara diserahkan
kepada adik Iparnya bernama Joko Tingkir bergelar sultan Hadi Wijoyo suami Ratu
Mas Cempaka, putri ayahnya Sultan Trenggono.
Menurut Mohammad Nur Arifin makna
dari“laku topo wudo sinjang rambut”adalah Ratu Kalinyamat mengamalkan konsep
zuhud dengan penuh ketawakalan dan kesabaran.
Dengan keikhlasan yang tulus dan
tekat yang kuat Ratu Kalinyamat rela meninggalkan gemerlap kehiduan dunia,
melepas segala atribut kebesaran sebagai seorang ratu menjadi seorang pertapa
dan melepas semua kemewahan dunia fana dalam Rangka memohon pertolongan kepada
Allah.
Madeg pandhito adalah kebiasaan raja
raja Jawa ketika sudah sepuh.Biasanya mereka mewariskan kerajaan kepada putera
mahkota kemudian pergi meninggalkan kerajaan, menyendiri bertapa di sebuah kuil
yang dibangun dilereng gunung, untuk konsentrasi memohon kepada Allah.
Jika Ratu Kalinyamat memilih
menyerahkan kekuasaan Demak dan Jepara kepada JOKO TINGKIR maka Megawati
memilih menyerahkan Kekuasaan Pemerintahan Indonesia kepada JOKO WIDODO. Joko
Tingkir berhasil mengendalikan chaos di Demak dengan menumpas Haryo
penangsang. Kemudian Joko Tingkir memindahkan ibukota Demak ke Pajang dan
menjadi raja dengan gelar Sultan Hadi Wijoyo.
Mungkinkah jalan Joko
Widodo akan seperti Joko Tingkir yang sukses mengemban amanah Ratu
Kalinyamat “ Ratu yang Madeg Pandito” ? Semoga Joko
Widodo amanah jika nanti terpilih menjadi Presiden RI.Selamat Madeg
Pandito Ibu Megawati.
Sumber : http://www.tribunnews.com/tribunners/2014/05/22/megawati-lengser-keprabon-madeg-pandito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar