Walisongo menulis semua ajaran tentang Islam dengan menggunakan tulisan dan
bahasa lokal, bukan Arab maupun Pegon. Suluk-suluk yang dibuat oleh para Wali,
semuanya menggunakan tulisan lokal. Suluk
"Wrucil" nya Sunan Bonang, suluk "Linglung" nya Sunan
Kalijaga, kidung "Purwojati" dan sebagainya, semua menggunakan bahasa
dan bentuk huruf lokal Jawa.
Belakangan terjadi sesat pikir yg menganggap bahwa semua tulisan yg
menggunakan huruf berkarakter lokal seperti Hanacaraka adalah warisan Hindu
Majapahit. Akhirnya ajaran-ajaran yang menggunakan huruf-huruf tersebut dan
bukan huruf Arab menjadi tertolak. Akibatnya ilmu-ilmu yang diwariskan
Walisongo menjadi tidak berkembang.
Saat Belanda datang ke Nusantara adalah dalam situasi mandegnya ajaran
Walisongo tersebut bersamaan dengan makin kentalnya kecenderungan dan
pendekatan fiqih, maka penjajahan akhirnya dengan mudah terjadi, karena para
ulama mulai lebih menonjolkan dalil-dalil dan tidak berpijak ke tradisi yg
sudah ada. Pada fase ini pesantren-pesantren sudah mulai tidak bisa membaca
tulisan Hanacaraka lagi. Inilah gelombang ke-2 Islam di Nusantara, setelah
Gelombang pertama yang dibawa oleh Walisongo.
Walhasil, para misionaris dan orientalis yang datang di Nusantara justru
yang akhirnya memunguti mutiara karya-karya tulisan Walisongo tersebut dan
mempelajarinya, sementara kita sendiri meninggalkannya. Misalnya suatu hari
Kyai Agus Sunyoto, ketua Lesbumi, mendapatkan naskah kidung Purwojati dari Kyai
Jadul Maula yang terdiri 46 pupuh, dan berisi pengetahuan-pengetahuan serta
informasi yang sangat langka. Ternyata Kyai Jadul mendapatkan kidung tersebut
justru adalah dari almarhum Romo Kuntoro, yang beragama Katolik. Saat ini
naskah-naskah Walisongo banyak disimpan di Vatikan dan Leiden Belanda dan umat
Islam sendiri menganggap semua naskah Jawa tersebut adalah tulisan kafir dan
tidak perlu dipelajari. Padahal banyak sekali naskah-naskah tersebut yang
mencakup berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Jadi jika diklasifikasikan berdasarkan waktu dan karakteristiknya, gelombang
Islam di Nusantara dapat kita bagi menjadi tiga. Gelombang pertama, adalah era
Walisongo. Gelombang Kedua, adalah era pasca Walisongo yang ditandai dengan
mulai hilangnya ilmu-ilmu warisannya karena huruf Jawa ditolak sebagai sumber
pengetahuan Islam. Dan gelombang Ketiga, adalah keadaan seperti saat ini,
dimana berbagai pengerasan dan reduksi-pendangkalan terjadi serta dengan
sederhana mengidentikkan Islam dengan simbol-simbol budaya Arab. Islam
cenderung dilihat dari citra kulit, bukan substansi.
Jika tidak berhati-hati maka berbagai warisan adiluhung Walisongo akan dapat
makin lenyap digerus oleh arus globalisasi dan kecenderungan-kecenderungan
mutakhir yang bergerak sangat cepat dan massif.
Belajar dari sejarah bahwa sebuah negara dan kebudayaan bisa saja hilang
atau punah. Contohnya negeri Campa. Kebudayaan Campa saat ini hanya tinggal
suku kecil di Vietnam
dan Kamboja. Padahal negeri Campa pernah besar dengan kebudayaannya.
Demikian juga bangsa Kurdi di Kurdistan. Salah seorang pemimpinnya yang
sangat terkenal dan dicatat dunia serta dibanggakan oleh umat Islam adalah
Shalahuddin Al-Ayyubi. Tapi suku Kurdi sendiri kini lenyap dan hanya menyisakan
suku Kurdi yang kecil di Irak, Suriah dan Turki. Identitasnya telah hilang.
Yang paling tragis adalah suku Kazar, yang berada di Kaukasus, Gorgia.
Bangsa ini dulu mempunyai kerajaan yg besar tapi akhirnya hilang sama sekali.
Dan yang mengerikan adalah bahasa Kazar itu sendiri juga hilang. Keturunan
bangsa Kazar sudah tidak tahu bagaimana bahasa Kazar. Hal ini dikarenakan
terjadinya "petaka budaya", dimana orang Kazar yang memeluk Islam
lebih memilih untuk berbicara hanya dalam bahasa Arab, sementara yang Kristen
menggunakan bahasa Yunani, sedang yang memeluk agama Yahudi menggunakan bahasa
Ibrani, tak ada yg menggunakan bahasa Kazar. Maka perlahan habislah bahasa
Kazar bahkan hingga tak dikenali lagi oleh keturunannya, dan akhirnya melenyap
dari peradaban dunia.
Hal serupa yang terjadi pada bangsa-bangsa tersebut tidak menutup
kemungkinan juga terjadi pada beragam suku dan kebudayaan di Nusantara jika
kita sendiri tidak menjaganya. Identitas budaya kita dapat hilang kapan saja
dan kita terancam menjadi entitas anonim yang rentan digilas arus global.
Sementara Walisongo telah berjasa memberikan identitas bagi Islam di
Nusantara dan memberi inspirasi untuk itu. Belanda menjajah kita selama 350
tahun. Saat proklamasi 17 agustus 45 umat Islam di Indonesia berjumlah 95% dari
seluruh penduduk Indonesia. Sementara di utara kita ada Filipina. Dulu di
negeri itu berdiri kerajaan-kerajaan Islam seperti Mindanao,
Isulu dan Zamboanga. Kotanya yang terbesar bernama Amanillah (sekarang dikenal
sebagai Manila).
Setelah dijajah Spanyol selama 150 tahun umat Islamnya hanya tinggal 5% saja.
Karakter keberagamaan umat Islam di Indonesia lebih kuat dan berdaya tahan,
dimana hal itu tak lepas dari kuatnya mental warisan Walisongo yang bukan
melulu mengajarkan syariah, melainkan berbagai aspek ilmu pengetahuan dan
integrasi budaya lokal yang kuat.
Karenanya penting untuk menggali kembali sejarah kebudayaan dan warisan
pemikiran Walisongo tersebut sebagai usaha menemukan spirit dan energi besar
yang mereka wariskan untuk memperkuat kita, baik sebagai entitas umat beragama
maupun bangsa, baik di masa kini maupun di masa yang akan datang.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar