HAKIKAT SEMANGAT KEBANGSAAN KITA
Oleh Abdurrahman Wahid
Oleh Abdurrahman Wahid
Kongkow Bareng GUS DUR membagikan foto Sofian J. Anom.
Ketika pada tahun 1933, KH. M. Hasjim Asy’ari Tebuireng (Jombang)
memerintahkan putra beliau KH. Wahid Hasjim yang
baru pulang dari Tanah Suci Mekkah untuk mempersiapkan Muktamar NU ke-9 di
Banjarmasin (Borneo Selatan), pertanyaan tentang kebangsaan lalu muncul.
Dijawab oleh beliau, bahwa kita memerlukan pembahasan terus-menerus antara
ajaran agama Islam dan paham kebangsaan/nasionalisme tersebut. Lalu menjadi
jelaslah, bahwa di negeri ini ajaran agama Islam tidak bisa lepas dari faktor
kebangsaan tersebut.
Kalau hal ini dilupakan, maka ‘perjuangan Islam’ di negeri ini hanya akan
diikuti oleh jumlah kecil dari para anak bangsa. Mayoritas anak bangsa itu
tidak biasa berjuang terlepas dari faham kebangsaan/nasionalisme, karena hal
itu memang sudah lama dilakukan di negeri ini. Wangsa Syailendra dari kaum
Buddhis di Pulau Sumatera sudah merasakan masalah tersebut sejak abad ke-6
Masehi. Penjelajah Buddhis dari daratan Tiongkok, bernama Fa-Hien pada abad ke-6
Masehi mendapati bahwa dinasti Sriwijaya di sebelah Selatan Sumatera menyimpan
semangat kebangsaan dalam kehidupan mereka.
Ketika orang-orang Sriwijaya menyerbu pulau Jawa melalui Pekalongan sekarang
ini, kemudian melewati Kerajaan Hindu Kalingga di Wonosobo sekarang ini,
mendirikan Candi Borobudur di daerah Muntilan (Magelang sekarang), dua abad
kemudian, mereka harus menerima kenyataan akan pembangunan Candi Prambanan
(Rara Jonggrang) yang bercorak Hindu Buddha. Ketika kemudian dari kalangan
Hindu dan Buddha secara terpisah menunjukkan reaksi atas ‘agama campuran’
tersebut, maka rakyat Prambanan pada abad ke-10 Masehi berpindah secara
besar-besaran ke wilayah Kediri.
Agama Hindu-Budha itu, disebut juga agama Bhairawa, kemudian meneruskan
perjalanan dan menjadi agama resmi Kerajaan Daha di kawasan Kediri. Kemudian, mereka berpindah ke
Singasari, sebelum pada akhirnya menjadi agama yang hidup di Kerajaan
Majapahit. Di tempat baru itu, ‘agama campuran’ itu harus menerima kehadiran
gerakan Islam di Desa Terik (terjemahan kata Tarikat di tepian sungai Brantas)
yang berada di bawah perlindungan angkatan laut Tiongkok yang beragama Islam,
waktu itu.
Jadi pluralitas dalam bentuk dialog terbuka itu, sudah lama dijalani bangsa Indonesia. Kita
belum lagi berbicara tentang kerajaan Buddha di Pakuan (sering juga dinamai
Tarumanegara) dekat Bogor.
Sekarang juga orang-orang ‘beragama asli’ seperti Sunda Wiwitan di kalangan
orang-orang Badui dan sebagainya di Jawa Barat.
Ketika kemudian Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit ‘mengatur’ terbunuhnya
Putri Dyah Pitaloka di Bubat (sebelah utara Jawa Timur dekat Gresik sekarang),
motifnya tidak lain adalah ketakutan akan munculnya aliansi politik militer
antara kerajaan Hindu di Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk (Brawijaya IV)
yang beragama Hindu-Budha dan Prabu Siliwangi dari Pajajaran, yang beragama
Hindu. Kalau itu terjadi, Gajah Mada takut aliansi politik militer itu akan
mengucilkan masyarakat santri di Majapahit.
Ketika Hayam Wuruk marah, Mahapatih Gajah Mada melarikan diri melalui
kawasan Banten Selatan dan naik perahu dari Balaraja ke Krui di Lampung Barat
sekarang. Ketika kemudian ia menyadari, bahwa rencana perkawinan tersebut tidak
mengandung kemungkinan munculnya aliansi Majapahit-Pajajaran, maka ia pun
mengirimkan pesan kepada Hayam Wuruk bahwa motifnya melakukan hal itu, adalah
karena takut timbulnya aliansi tersebut. Hayam Wuruk mengirimkan pesan, bahwa
ia menginginkan Gajah Mada datang sendiri menghadap ke Kraton di Majapahit,
guna menyampaikan hal itu. Sesampai di Majapahit (di kawasan dekat Jombang
sekarang) selama berbulan-bulan, Sebelum ia dapat menghadap Hayam Wuruk, ia
pun meninggal dunia karena sakit.
Dari gambaran di atas, bahwa baik Gajah Mada maupun Hayam Wuruk ingin
menghindari aliansi-aliansi politik dan militer antara Majapahit dan
lain-lainnya. Ini karena sudah sejak seabad sebelum itu, hutang perang (war
loan) Majapahit sudah membengkak, menjadi tanggungan Majapahit yang sangat
berat. Di samping itu, apabila aliansi politik militer itu berlangsung maka
kandaslah apa yang dicita-citakan Mpu Tantular sejak dua abad sebelumnya, yaitu
terkenal dengan adagium Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda, namun tetap satu
jua). Adagium inilah yang kemudian oleh Bung Karno diberi nama Pancasila pada
tahun 1945.
Dalam kerangka dialogis agama Islam dan kebangsaan itulah tokoh-tokoh
eksponennya, seperti H.O.S Tjokroaminoto, KH. M. Hasjim Asy’ari, Bung Karno dan
Djojosugito bergerak dan berkiprah. Perjuangan ini berujung pada Muktamar NU
ke-9 di Banjarmasin pada tahun 1935, yang memutuskan NU tidak akan mendirikan
negara Islam. Kalau hal ini kita lupakan sekarang dan kita mengikuti ‘garis
perjuangan’ Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), PKS (Partai Keadilan Sejahtera) atau
Front Pembela Islam (FPI) yang ingin mendirikan negara Islam, maka kita akan
menyalahi keputusan Muktamar tersebut.
Maukah mayoritas bangsa ini menjaga dialog Islam dan kebangsaan itu? Sebelum
kita dapat melakukan hal itu, sebaiknya kita tetap pada keputusan Muktamar di
atas saja, bukan?
*) Tulisan ini pernah dimuat di koran Sindo, 18 Januari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar