TAN MALAKA, Biografi Terbesar Pahlawan Terlupakan dalam Sejarah Indonesia yang Dihargai di Eropa!
Karya
Harry Poeze yang judulnya berarti Dihujat dan Dilupakan: Tan Malaka,
Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949 sungguh luar biasa dari
segi kuantitas dan kualitas. Terdiri atas tiga jilid setebal 2.194
halaman, buku ini bukan saja menggunakan dokumen Indonesia dan Belanda,
tetapi juga arsip Rusia. Ini merupakan biografi terbesar dalam sejarah
modern Indonesia.
Dalam
lintasan sejarah, Tan Malaka merupakan salah satu tokoh revolusi kiri
yang namanya hingga kini masih terus berkibar, paling tidak di Eropa.
Sehingga tak heran jika Harry Poeze, peneliti senior sekaligus Direktur
KITLV Belanda, menulis disertasi mengenai Tan Malaka pada tahun 1976
yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia dalam dua jilid. Poeze
kemudian melanjutkan buku kisah perjalanan hidup Tan Malaka ini sampai
akhir hayatnya pada 1949, yang dalam buku tersebut diungkap mengenai
lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur dan siapa yang menembaknya.
Penelusuran
Poeze ternyata tidak hanya berhenti disitu, pada 8 Juni 2007 lalu, di
Universitas Leide Belanda, Poeze meluncurkan buku yang berjudul
‘Verguisd en Vergeten, Tan Malaka; De linkse Beweging en Indonesische
Revolutien 1945-1959’. Buku setebal 2194 halaman ini di jual seharga
99,90 euro di Eropa, dan cukup mendapat apresiasi dari halayak
pembaca.[/SIZE]
Pejuang antikolonialisme
Sutan
Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka lahir di Pandan Gadang, Suliki,
Sumatera Barat, tahun 1896. Ia menempuh pendidikan Kweekschool di
Bukittinggi sebelum melanjutkan pendidikan ke Belanda. Pulang ke
Indonesia tahun 1919 ia bekerja di perkebunan Tanjung Morawa, Deli.
Penindasan
terhadap buruh menyebabkan ia berhenti dan pindah ke Jawa tahun 1921.
Ia mendirikan sekolah di Semarang dan kemudian di Bandung. Aktivitasnya
menyebabkan ia diasingkan ke negeri Belanda. Ia malah pergi ke Moskwa
dan bergerak sebagai agen komunis internasional (Komintern) untuk
wilayah Asia Timur. Namun, ia berselisih paham karena tidak setuju
dengan sikap Komintern yang menentang pan-Islamisme.
Ia
berjuang menentang kolonialisme "tanpa henti selama 30 tahun" dari
Pandan Gadang (Suliki), Bukittinggi, Batavia, Semarang, Yogya, Bandung,
Kediri, Surabaya, sampai Amsterdam, Berlin, Moskwa, Amoy, Shanghai,
Kanton, Manila, Saigon, Bangkok, Hongkong, Singapura, Rangon, dan
Penang. Ia sesungguhnya pejuang Asia sekaliber Jose Rizal (Filipina) dan
Ho Chi Minh ( Vietnam).
Ia tidak setuju dengan rencana
pemberontakan PKI yang kemudian meletus tahun 1926/1927 sebagaimana
ditulisnya dalam buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik
Indonesia, Kanton, April 1925 dan dicetak ulang di Tokyo, Desember
1925). Perpecahan dengan Komintern mendorong Tan Malaka mendirikan
Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok, Juni 1927.
Walaupun
bukan partai massa, organisasi ini dapat bertahan sepuluh tahun; pada
saat yang sama partai-partai nasionalis di Tanah Air lahir dan mati.
Perjuangan
Tan Malaka yang bersifat lintas bangsa dan lintas benua telah
diuraikan secara rinci dalam dua jilid biografi yang ditulis Poeze.
Setelah Indonesia merdeka, perjuangan Tan Malaka mengalami pasang naik
dan pasang surut. Ia memperoleh testamen dari Bung Karno untuk
menggantikan apabila yang bersangkutan tidak dapat menjalankan
tugasnya.
Namun, tahun 1948, Tan Malaka dikenal sebagai
penentang diplomasi dengan Belanda yang dilakukan dalam posisi
merugikan Indonesia. Ia memimpin Persatuan Perjuangan yang menghimpun
141 partai/organisasi masyarakat dan laskar, menuntut agar perundingan
baru dilakukan jika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia seratus
persen.
Tahun 1949 Tan Malaka ditembak. Tanggal 28 Maret
1963 Presiden Soekarno mengangkat Tan Malaka sebagai pahlawan nasional.
Namun, sejak era Orde Baru, namanya dihapus dalam pelajaran sejarah
yang diajarkan di sekolah walau gelar pahlawan nasional itu tidak
pernah dicabut. Adalah kebodohan rezim Orde Baru menganggap Tan Malaka
sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat pemberontakan beberapa kali.
Tan Malaka justru menolak pemberontakan PKI tahun 1926/1927. Ia sama
sekali tidak terlibat dalam peristiwa Madiun 1948. Bahkan, partai yang
didirikan tanggal 7 November 1948, Murba, dalam berbagai peristiwa
berseberangan dengan PKI.
Harry Poeze telah menemukan
lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur berdasarkan serangkaian
wawancara yang dilakukan pada periode 1986 sampai dengan 2005 dengan
para pelaku sejarah yang berada bersama-sama dengan Tan Malaka tahun
1949. Dengan dukungan dari keluarga dan lembaga pendukung Tan Malaka,
sedang dijajaki kerja sama dengan Departemen Sosial Republik Indonesia
untuk memindahkan kuburannya ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Tentu
untuk ini perlu tes DNA, misalnya. Tetapi, Depsos dan Pemerintah
Provinsi Jatim harus segera melakukannya sebelum masyarakat setempat
secara sporadis menggali dan mungkin menemukan tulang belulang kambing
yang bisa diklaim sebagai kerangka jenazah sang pahlawan nasional.
Temuan baru
Banyak
penemuan baru yang terdapat dalam buku Tan Malaka yang terakhir ini.
Sejarah revolusi Indonesia tahun 1945-1949 seperti diguncang untuk
ditinjau ulang. Peristiwa Madiun 1948 dibahas sebanyak 300 halaman.
Poeze menggunakan arsip Komintern yang terdapat di Moskwa.
Ia
juga menemukan arsip menarik tentang Soeharto. Selama ini sudah
diketahui bahwa Soeharto datang ke Madiun sebelum meletus pemberontakan.
Soemarsono berpesan kepadanya bahwa kota itu aman dan agar pesan itu
disampaikan kepada pemerintah. Poeze menemukan sebuah arsip menarik di
Arsip Nasional RI bahwa Soeharto pernah menulis kepada "Paduka Tuan"
Kolonel Djokosoejono, komandan tentara kiri, agar beliau datang ke Yogya
dan menyelesaikan persoalan ini. Soeharto menulis "saya menjamin
keselamatan Pak Djoko". Dokumen ini menarik karena ternyata Soeharto
mengambil inisiatif sendiri sebagai penengah dalam peristiwa Madiun.
Dalam
kondisi ini, Tan Malaka mungkin lebih cocok disebut sebagai pahlawan
yang terlupakan. Mengapa demikian, karena Ia berpuluh-puluh tahun telah
berjuang bersama rakyat, namun kemudian dibunuh dan dikuburkan
disamping markas militer di sebuah desa di Kediri pada 1949, tanpa
banyak yang tahu. Padahal ia lebih dari tiga dekade merealisasikan
gagasannya dalam kancah perjuangan Indonesia. Ini dapat dilihat dari
ketika Tan Malaka pertama kali menginjakkan kaki di tanah Jawa, yakni
dengan mendirikan Sekolah Rakyat di Semarang. Padahal Tan Malaka ketika
sedang dalam pengejaran Intelijen Belanda, Inggris dan Amerika.
Menurutnya,
pendidikan rakyat jelas merupakan cara terbaik membebaskan rakyat dari
kebodohan dan keterbelakangan untuk membebaskan diri dari
kolonialisme. Tan Malaka dan gagasannya tidak hanya menjadi penggerak
rakyat Indonesia, tetapi juga membuka mata rakyat Philipina dan
semenanjung Malaya atau bahkan dunia.
Harry
Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur. Lokasi
tempat Tan Malaka disergap dan kemudian ditembak adalah Dusun Tunggul,
Desa Selopanggung, di kaki Gunung Wilis. Penembakan itu dilakukan oleh
Suradi Tekebek atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalyon
Sikatan, Divisi Brawijaya. Pada masa selanjutnya, Soekotjo pernah
menjadi Wali Kota Surabaya dan terakhir berpangkat brigjen, meninggal
tahun 1980-an.
Dalam penelitiannya Poeze juga
memanfaatkan foto-foto sejarah. Rapat raksasa di lapangan Ikada
(sekarang lapangan Monas) Jakarta, 19 September 1945, yang dihadiri
15.000 orang dari seputar Jakarta merupakan momen historis penting.
Walau Indonesia sudah merdeka, peralihan kekuasaan belum terlaksana.
Tentara Jepang masih memegang senjata dan mengancam jika rakyat
mengadakan rapat lebih dari lima orang. Rapat raksasa di lapangan Ikada
itu dirancang pemuda untuk memperlihatkan dukungan rakyat kepada
proklamasi. Soekarno ragu untuk menghadiri rapat tersebut karena
khawatir tentara Jepang melakukan penembakan massal terhadap penduduk.
Rapat itu akhirnya berlangsung dan Soekarno berpidato beberapa menit.
Poeze
sempat memeriksa foto-foto tentang peristiwa itu. Ia menemukan
seseorang yang memakai helm di dekat Bung Karno ketika berpidato.
Bahkan, pada salah satu foto, Soekarno dan orang itu berjalan
berdampingan. Setelah membandingkan berbagai foto itu, berkesimpulan
bahwa lelaki berhelm itu adalah Tan Malaka. Lelaki itu lebih pendek dari
Soekarno dan ukurannya di foto ternyata cocok karena tinggi Soekarno
adalah 1,72 meter dan Tan Malaka 1,65 meter.
Sumber : Kota Kediri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar