Kamis, 22 Mei 2014

Strategi Tempur, 4 sehat 5 sempurna

TRIBUNNEWS.COM - Selama orde baru berkuasa, puluhan tahun Megawati tabah dan bersabar. Intimidasi, teror, pendzaliman, pengkerdilan dan pengucilan bahkan pembunuhan secara sosial dan politik terhadap ajaran dan trah Soekarno terus berlangsung dan semakin menjadi.
 
PDI yang dianggap sebagai eksistensi Soekarno berusaha dilenyapkan dengan cara mencabut akarnya dari trah Soekarno. Adalah Suryadi boneka dan tumbal fasisme Penguasa Orba mengambil alih PDI dari Megawati.

Puncak pendzaliman terhadap Megawati terjadi tanggal 27 Juli 1996.Penyerbuan dan pembunuhan brutal di kantor PDI pimpinan Megawati  Jl. Diponegoro no 58 Menteng.  

Komnas HAM pimpinan Munawir Sadzali dan Baharuddin Lopa mencatat dalam laporan akhir, peristiwa kelam yang dikenal dengan Kudatuli itu menelan korban jiwa: 5 orang tewas, 23 orang hilang dan 149 orang terluka. Selain itu ada 136 orang yang ditahan.

Komnas HAM juga mencatat bahwa terdapat pertemuan tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya dipimpin oleh Kasdam Jaya Brigjen Susilo Bambang Yudoyono (sekarang Presiden RI).

Hadir pada rapat itu adalah Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso dan Alex Widya Siregar.

Dalam rapat itu, Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan penyerbuan atau pengambilalihan Kantor DPP PDI oleh Kodam Jaya.

Tanggal 21 Mei 1998 Soeharto jatuh, Habibie tampil menjadi Presiden RI.Pemilu dipercepat, digelar tahun 1999.Kebencian terhadap Soeharto dan orde baru begitu hebat dan terjadi arus balik, trah Soekarno kembali mendapat kepercayaan dari rakyat Indonesia.

Gegap gempita rakyat bak menyambut kembalinya Soekarno, pemilu tahun 1999 PDIP menang besar dengan perolehan suara 33,74% atau153kursi  DPRRI.     

Walaupun menang gilang gemilang, Megawati harus bersabar lagi, karena DPR lebih memilih Abdurahman Wahid menjadi Presiden dan Megawati menjadi wakil Presiden.

Megawati menggenggam puncak kekuasaan setelah Presiden Gus Dur dijatuhkan oleh Parlemen tanggal 23 Juli 2001.Mega nampaknya memaafkan orang orang yang telah “menyakitinya bahkan membunuhnya” selama orde baru.

Mungkin Mega menyadari bahwa mereka hanyalah para anak buah yang harus menjalankan perintah atasanya. Sutiyoso tetap didukung menjadi Gubernur DKI untuk kedua kalinya dan SBY diangkat menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan.

Mega kembali diuji kesabaranya karena kemudian ternyata SBY yang dipercaya menjadi Menkopolkam “berkhianat” dengan mendirikan dan membangun partai Demokrat  untuk kendaraanya menjadi Presiden RI.
SBY berhasil mempecundangi Mega dalam dua kali pemilihan umum Presiden yaitu tahun 2004 dan tahun 2010. Beberapa kali SBY menawarkan koalisi “kemewahan” kepada Mega, namun Mega kokoh  dan memilih oposisi “ laku tirakat”.

Jika selama orde baru yang sangat represif dan kejam Mega berhasil lulus, maka laku tirakat dijaman SBY bukanlah hal yang sulit bagi Mega.

Laku Tirakat  Mega selama 10 tahun terakhir membuahkan hasil. PDIP kembali menjadi magnet, memenangkan Pemilu legislative 2014 dengan angka sekitar 19 persen dan 109 kursi DPRRI.

Sebaliknya SBY dan “laku sengkuni” juga mendapatkan hasil dengan angka 10 persen dari sebelumnya 21 persen.

Yang sangat mengejutkan lagi, laku tirakat Mega terus berlanjut, maqam spiritual dan politiknya terus naik meninggalkan hiruk pikuk kemewahan kekuasaan.

Dengan kesadaran luar biasa Megawati “menyerahkan”kekuasaan kepada orang lain, bukan trah Soekarno, hanya rakyat biasa dari pinggir bengawan Solo, orang itu bernama Joko Widodo.

Ternyata Mega begitu menyadari bahwa pada saatnya harus lengser keprabon dan Madeg Pandhito.

Laku madeg Pandito yang dilakukan Megawati, mengingatkan kepada Sosok Ratu Kalinyamat.Seorang Ratu yang mempunyai nama asli Retno Kencono, pernah memimpin Jepara yang berpusat di Kalinyamat.

Jepara adalah salah satu daerah kekuasaan Demak.Saat saat terakhir keruntuhan Demak terjadi chaos karena perebutan kekuasaan antara Haryo Penangsang dan Ratu Kalinyamat.

Atas kesadaran penuh, Ratu Kalinyamat meninggalkan segala gemerlap dan kemewahan kerajaan, memilih laku Madeg Pandito yang sangat terkenal dengan sebutan “ Laku Topo Wudo Sinjang Rambut”, di Lereng Gunung Donorojo.

Kerajaan Demak dan Jepara diserahkan kepada adik Iparnya bernama Joko Tingkir bergelar sultan Hadi Wijoyo suami Ratu Mas Cempaka, putri ayahnya Sultan Trenggono.

Menurut Mohammad Nur Arifin makna dari“laku topo wudo sinjang rambut”adalah Ratu Kalinyamat mengamalkan konsep zuhud dengan penuh ketawakalan dan kesabaran.

Dengan keikhlasan yang tulus dan tekat yang kuat Ratu Kalinyamat rela meninggalkan gemerlap kehiduan dunia, melepas segala atribut kebesaran sebagai seorang ratu menjadi seorang pertapa dan melepas semua kemewahan dunia fana dalam Rangka memohon pertolongan kepada Allah.

Madeg pandhito adalah kebiasaan raja raja Jawa ketika sudah sepuh.Biasanya mereka mewariskan kerajaan kepada putera mahkota kemudian pergi meninggalkan kerajaan, menyendiri bertapa di sebuah kuil yang dibangun dilereng gunung, untuk konsentrasi memohon kepada Allah.

Jika Ratu Kalinyamat memilih menyerahkan kekuasaan Demak dan Jepara kepada JOKO TINGKIR maka Megawati memilih menyerahkan Kekuasaan Pemerintahan Indonesia kepada JOKO WIDODO. Joko Tingkir  berhasil mengendalikan chaos di Demak dengan menumpas Haryo penangsang. Kemudian Joko Tingkir memindahkan ibukota Demak ke Pajang dan menjadi raja dengan gelar Sultan Hadi Wijoyo.

Mungkinkah jalan Joko Widodo akan seperti Joko Tingkir yang sukses mengemban amanah Ratu Kalinyamat “ Ratu yang Madeg Pandito” ? Semoga Joko Widodo amanah jika nanti terpilih menjadi Presiden RI.Selamat Madeg Pandito Ibu Megawati.

Sumber : http://www.tribunnews.com/tribunners/2014/05/22/megawati-lengser-keprabon-madeg-pandito

Tidak ada komentar: