Surabaya - Chairul dalam bagian pidatonya yang berjudul 'Menuju Indonesia Maju,
Berkeadilan dan Sejahtera Untuk Semua' menyampaikan kebijakan yang ditempuh 6
presiden yang telah memimpim Indonesia.
"Situasi riil yang dihadapi tentunya bisa berbeda-beda dari satu periode ke periode lainnya, dan hal tersebutlah yang membedakan satu pemimpin dari pemimpin yang lain," katanya.
Berikut ini kebijakan ekonomi dari era Presiden Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di mata Chairul Tanjung:
"Situasi riil yang dihadapi tentunya bisa berbeda-beda dari satu periode ke periode lainnya, dan hal tersebutlah yang membedakan satu pemimpin dari pemimpin yang lain," katanya.
Berikut ini kebijakan ekonomi dari era Presiden Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di mata Chairul Tanjung:
1. Presiden Soekarno
Kebijakan yang diambil dalam setiap periode masa
kepemimpinan Presiden Indonesia dianggap yang paling tepat sesuai dengan
situasi yang dihadapi pada zamannya. Sehingga tidak tepat jika dalam melihat
perspektif sejarah kebijakan ekonomi Indonesia hanya terfokus kepada kekurangan
atau kelemahan kebijakan yang telah diambil oleh para presiden.
2.
Presiden Soeharto (Maret 1967 Mei 1998)
Chairul Tanjung mengatakan di awal
kepemimpinan Presiden Soeharto, target utama Pemerintah adalah memperbaiki
kondisi ekonomi pasca Orde Lama. Filosofi
perbaikan ini dituangkan dalam apa yang disebut dengan Trilogi Pembangunan, yaitu pertama Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Kedua, Pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi, dan Ketiga, Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Pola dasar pembangunan nasional disusun berdasarkan pola pembangunan jangka pendek lima tahunan (Pelita). Sektor pertanian mendapatkan perhatian utama, dan salah satu puncaknya adalah tercapainya swasembada beras di pertengahan dekade 1980.
"Indonesia menyadari bahwa tidak mungkin membangun dengan menggunakan kekuatan sendiri. Sejak awal, Indonesia memiliki orientasi ‘ke luar’, memanfaatkan sumber-sumber luar negeri. Di masa awal pemerintahan Orde Baru, hal ini dituangkan dalam UU Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1967," katanya.
Menurut Chairul, periode awal Orde Baru, Pemerintah Presiden Soeharto mengambil dua kebijakan strategis utama.
Pertama adalah pengendalian jumlah penduduk melalui Program Keluarga Berencana sejak awal dekade 1970an. Kebijakan ini ditekuni dengan serius, sehingga berhasil mengurangi laju pertumbuhan penduduk Indonesia secara signifikan dalam 3-4 dekade berikutnya.
Kebijakan Keluarga Berencana yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia kemudian menjadi referensi praktek terbaik internasional di akhir dekade 1980an dan
awal 1990an.
Kebijakan strategis kedua yang dijalankan oleh Pemerintahan Orde Baru adalah menggunakan uang hasil ekspor minyak bumi untuk pembangunan infrastruktur perdesaan, melalui beragam program Inpres (Instruksi Presiden).
"Dengan program ini, pembangunan infrastruktur pendidikan, kesehatan, jalan, dan infrastruktur lainnya termasuk reboisasi hutan, mendapatkan perhatian utama di seluruh Indonesia. Sumber lain pembiayaan pembangunan diperoleh dengan mengandalkan devisa dari ekspor nonmigas, di samping mencari bantuan kredit luar negeri," katanya.
Chairul menambahkan kebijakan pembangunan di masa Orde Baru menekankan kepada pencapaian hasil. Hal ini tidak lepas dari sifat sentralistis di mana seluruh komponen harus mampu menunjukkan keberhasilan. Pentingnya proses yang efisien, taat azas, akuntabel, partisipatif, harus diakui bukanlah ‘jargon’ dalam pemerintahan Orde Baru. Hal ini kemudian menjadi sebab dari defisit anggaran pemerintah yang selalu meningkat hingga puncaknya pada menjelang krisis 1998.
"Hal inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab runtuhnya pemerintahan Orde Baru di tahun 1998," katanya
perbaikan ini dituangkan dalam apa yang disebut dengan Trilogi Pembangunan, yaitu pertama Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Kedua, Pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi, dan Ketiga, Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Pola dasar pembangunan nasional disusun berdasarkan pola pembangunan jangka pendek lima tahunan (Pelita). Sektor pertanian mendapatkan perhatian utama, dan salah satu puncaknya adalah tercapainya swasembada beras di pertengahan dekade 1980.
"Indonesia menyadari bahwa tidak mungkin membangun dengan menggunakan kekuatan sendiri. Sejak awal, Indonesia memiliki orientasi ‘ke luar’, memanfaatkan sumber-sumber luar negeri. Di masa awal pemerintahan Orde Baru, hal ini dituangkan dalam UU Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1967," katanya.
Menurut Chairul, periode awal Orde Baru, Pemerintah Presiden Soeharto mengambil dua kebijakan strategis utama.
Pertama adalah pengendalian jumlah penduduk melalui Program Keluarga Berencana sejak awal dekade 1970an. Kebijakan ini ditekuni dengan serius, sehingga berhasil mengurangi laju pertumbuhan penduduk Indonesia secara signifikan dalam 3-4 dekade berikutnya.
Kebijakan Keluarga Berencana yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia kemudian menjadi referensi praktek terbaik internasional di akhir dekade 1980an dan
awal 1990an.
Kebijakan strategis kedua yang dijalankan oleh Pemerintahan Orde Baru adalah menggunakan uang hasil ekspor minyak bumi untuk pembangunan infrastruktur perdesaan, melalui beragam program Inpres (Instruksi Presiden).
"Dengan program ini, pembangunan infrastruktur pendidikan, kesehatan, jalan, dan infrastruktur lainnya termasuk reboisasi hutan, mendapatkan perhatian utama di seluruh Indonesia. Sumber lain pembiayaan pembangunan diperoleh dengan mengandalkan devisa dari ekspor nonmigas, di samping mencari bantuan kredit luar negeri," katanya.
Chairul menambahkan kebijakan pembangunan di masa Orde Baru menekankan kepada pencapaian hasil. Hal ini tidak lepas dari sifat sentralistis di mana seluruh komponen harus mampu menunjukkan keberhasilan. Pentingnya proses yang efisien, taat azas, akuntabel, partisipatif, harus diakui bukanlah ‘jargon’ dalam pemerintahan Orde Baru. Hal ini kemudian menjadi sebab dari defisit anggaran pemerintah yang selalu meningkat hingga puncaknya pada menjelang krisis 1998.
"Hal inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab runtuhnya pemerintahan Orde Baru di tahun 1998," katanya
3.
Presiden B.J. Habibie (Mei 1998 Oktober 1999)
Chairul mengatakan pada masa singkat
pemerintahan Presiden Habibie adalah periode transisi Indonesia keluar dari
krisis ekonomi dan politik di akhir dekade 1990an. Periode transisi yang
singkat ini meletakkan dasar dari beragam reformasi yang kemudian terus
bergulir setelah
Menurutnya Presiden Habibie menyelesaikan masa jabatannya di Oktober 1999. Pemerintahan Presiden Habibie melakukan perbaikan dan rekonstruksi perekonomian Indonesia, melalui restrukturisasi atau rekapitulasi perbankan secara besar besaran dan meletakkan dasar dari persaingan sehat.
"Reformasi ekonomi dilakukan dengan memberlakukan beberapa Undang - Undang yang mendukung persaingan sehat, seperti Undang-undang (UU) Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat serta UU Perlindungan Konsumen," katanya.
Selain itu, lanjut Chairul, Undang-undang yang mengatur pemerintah daerah dan desentralisasi fiskal juga pertama kali dikeluarkan di periode pemerintahan ini. Reformasi lainnya adalah pengaturan baru atas media massa dan serikat pekerja.
"Di sisi lain, Indonesia saat itu juga dihadapkan kepada gejolak ekonomi yang mengakibatkan kesulitan bagi masyarakat miskin dan rentan," katanya.
Dikatakannya pada masa inilah dimulai adanya cikal bakal dari program perlindungan sosial dalam bentuk operasi pasar khusus, kebijakan penyerapan tenaga kerja untuk pekerjaan padat karya.
"Kebijakan seperti ini menjadi dasar dari kebijakan perlindungan sosial Indonesia di masa berikutnya," katanya.
Menurutnya Presiden Habibie menyelesaikan masa jabatannya di Oktober 1999. Pemerintahan Presiden Habibie melakukan perbaikan dan rekonstruksi perekonomian Indonesia, melalui restrukturisasi atau rekapitulasi perbankan secara besar besaran dan meletakkan dasar dari persaingan sehat.
"Reformasi ekonomi dilakukan dengan memberlakukan beberapa Undang - Undang yang mendukung persaingan sehat, seperti Undang-undang (UU) Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat serta UU Perlindungan Konsumen," katanya.
Selain itu, lanjut Chairul, Undang-undang yang mengatur pemerintah daerah dan desentralisasi fiskal juga pertama kali dikeluarkan di periode pemerintahan ini. Reformasi lainnya adalah pengaturan baru atas media massa dan serikat pekerja.
"Di sisi lain, Indonesia saat itu juga dihadapkan kepada gejolak ekonomi yang mengakibatkan kesulitan bagi masyarakat miskin dan rentan," katanya.
Dikatakannya pada masa inilah dimulai adanya cikal bakal dari program perlindungan sosial dalam bentuk operasi pasar khusus, kebijakan penyerapan tenaga kerja untuk pekerjaan padat karya.
"Kebijakan seperti ini menjadi dasar dari kebijakan perlindungan sosial Indonesia di masa berikutnya," katanya.
4.
Presiden Abdurrahman Wahid (Oktober 1999 Juli 2001)
Chairul menuturkan pada pemerintahan
Presiden Gus Dur dimulai dengan restrukturisasi lembaga pemerintahan yang
dianggap tidak efisien. Reformasi juga terus dilanjutkan melalui penggalakkan
demokrasi dan keterbukaan dalam kehidupan sosial, serta menguatkan dan
meluaskan kerja sama bilateral dengan luar negeri.
"Dalam masa pemerintahannya yang singkat, Gus Dur membawa Indonesia kepada penghormatan atas nilai-nilai pluralisme dan multikul- turalisme," jelas Chairul.
"Dalam masa pemerintahannya yang singkat, Gus Dur membawa Indonesia kepada penghormatan atas nilai-nilai pluralisme dan multikul- turalisme," jelas Chairul.
5.
Presiden Megawati Soekarnoputri (Juli 2001 Oktober 2004)
Pada masa Presiden Megawati
Soekarnoputri, menurutnya pemerintah terus melanjutkan privatisasi BUMN sebagai
upaya penyehatan kondisi keuangan negara. Pengembangan ‘ekonomi kerakyatan’
yang dalam rangka memberdayakan masyara kat, meningkatkan kesejahteraan dan
memperkuat ketahanan ekonomi sosial khususnya menekan defisit anggaran dan
perbaikan kinerja ekspor, penekanannya dilakukan melalui pengembangan usaha
kecil, menengah dan koperasi.
"Pada era ini, pembangunan fisik relatif terbatas. Kendati kondisi ekonomi sudah mulai lebih membaik, namun rata-rata angka pertumbuhan masih pada kisaran angka 4.6% per tahun," katanya.
Chairul menambahkan pada masa pemerintah Presiden Megawati pula diterbitkan UU Ketenagakerjaan pada tahun 2003, menandai kebijakan tenaga kerja yang jauh lebih menekankan perlindungan kepada pekerja.
"Pada akhir masa jabatannya, Presiden Megawati juga mengeluarkan UU Sistem Jami nan Sosial Nasional (SJSN) yang menjadi landasan dari program Jaminan Sosial ke depannya," katanya.
Sehingga sampai dengan saat ini, lanjut Chairul, Sistem Jaminan Sosial Nasional ini masih belum dapat terlaksana sepenuhnya. Salah satunya adalah karena dalam proses persiapannya, SJSN tersebut tidak dilengkapi dengan perhitungan aktuaria baik di tingkat mikro dan makro yang memadai.
"Pada era ini, pembangunan fisik relatif terbatas. Kendati kondisi ekonomi sudah mulai lebih membaik, namun rata-rata angka pertumbuhan masih pada kisaran angka 4.6% per tahun," katanya.
Chairul menambahkan pada masa pemerintah Presiden Megawati pula diterbitkan UU Ketenagakerjaan pada tahun 2003, menandai kebijakan tenaga kerja yang jauh lebih menekankan perlindungan kepada pekerja.
"Pada akhir masa jabatannya, Presiden Megawati juga mengeluarkan UU Sistem Jami nan Sosial Nasional (SJSN) yang menjadi landasan dari program Jaminan Sosial ke depannya," katanya.
Sehingga sampai dengan saat ini, lanjut Chairul, Sistem Jaminan Sosial Nasional ini masih belum dapat terlaksana sepenuhnya. Salah satunya adalah karena dalam proses persiapannya, SJSN tersebut tidak dilengkapi dengan perhitungan aktuaria baik di tingkat mikro dan makro yang memadai.
6.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Oktober 2004 Oktober 2014)
Chairul mengatakan pemerintahan
Presiden SBY sejak 2004 berangkat dengan empat pilar utama strategi pembangunan
ekonomi, yaitu Pro-Growth, Pro- Poor, Pro-Job, dan Pro-Environ- ment, yang
kemudian dikenal dengan istilah pembangunan ekonomi berkelanjutan dan merata
(sustainable growth with equity).
Selain itu, lanjut Chairul, pada masa Presiden SBY menghadapi beberapa periode krisis. Krisis harga minyak internasional di tahun 2005 mengharuskan Indonesia mengurangi subsidi BBM secara signifikan.
"Masyarakat tidak mampu mendapatkan kompensasi dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang merupakan program transfer tunai pertama kali dilakukan dalam skala nasional di Indonesia. Transfer tunai ini, bersama-sama dengan program lainnya menjadi katup penyelamat kelompok tidak mampu menghadapi krisis," jelasnya.
Kemudian, terjadi krisis 2008 yang juga berakibat pada peningkatan harga BBM. Sekali lagi, program transfer tunai kepada masyarakat tidak mampu menjadi program kompensasi.
Chairul juga mencatat sejak tahun 2009, Pemerintahan SBY merumuskan program penanggulangan kemiskinan ke dalam tiga klaster.
Klaster I adalah program bantuan sosial berbasiskan rumah tangga. Termasuk di dalam Klaster I ini adalah Raskin, Program Keluarga Harapan, Jamkesmas, dan Bantuan Siswa Miskin.
Klaster II adalah kelompok program pemberdayaan masyarakat, dengan PNPM sebagai induk utama program yang akhirnya dijalankan oleh berbagai kementerian,
Klaster III adalah pengembangan usaha mikro dan kecil dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebagai program utama pemerintah.
"Memasuki paruh kedua masa pemerintahannya, SBY melanjutkan tiga klaster program tersebut dan menambahkan beberapa program pro-rakyat lainnya yang dimasukkan ke dalam Klaster IV. Menghadapi situasi APBN yang amat dibebani oleh subsidi BBM, di tahun 2013 SBY kembali mengurangi subsidi BBM yang berujung kepada peningkatan harga BBM," katanya.
Sehingga ada program kompensasi kepada penduduk miskin dan rentan di berikan dalam satu rangkaian program yang salah satunya juga berisikan bantuan tunai yang disebut Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM).
"Keseluruhan usaha yang dilakukan oleh Pemerintahan SBY telah membuahkan hasil berupa pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil (di atas angka 6 persen per tahun), menurunnya rasio utang negara terhadap PDB, penurunan angka kemsikinan dan juga angka pengangguran," katanya.
Namun Chairul juga mencatat terlihat peningkatan ketimpangan seperti yang ditunjukkan oleh peningkatan Rasio Gini menjadi 0,41 di tahun 2011.
Hingga kini, lanjut Chairul, pembangunan ekonomi Indonesia menyisakan masalah pemerataan pendapatan, dan dalam kerangka yang lebih luas menyisakan masalah keadilan sosial.
Selain itu, lanjut Chairul, pada masa Presiden SBY menghadapi beberapa periode krisis. Krisis harga minyak internasional di tahun 2005 mengharuskan Indonesia mengurangi subsidi BBM secara signifikan.
"Masyarakat tidak mampu mendapatkan kompensasi dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang merupakan program transfer tunai pertama kali dilakukan dalam skala nasional di Indonesia. Transfer tunai ini, bersama-sama dengan program lainnya menjadi katup penyelamat kelompok tidak mampu menghadapi krisis," jelasnya.
Kemudian, terjadi krisis 2008 yang juga berakibat pada peningkatan harga BBM. Sekali lagi, program transfer tunai kepada masyarakat tidak mampu menjadi program kompensasi.
Chairul juga mencatat sejak tahun 2009, Pemerintahan SBY merumuskan program penanggulangan kemiskinan ke dalam tiga klaster.
Klaster I adalah program bantuan sosial berbasiskan rumah tangga. Termasuk di dalam Klaster I ini adalah Raskin, Program Keluarga Harapan, Jamkesmas, dan Bantuan Siswa Miskin.
Klaster II adalah kelompok program pemberdayaan masyarakat, dengan PNPM sebagai induk utama program yang akhirnya dijalankan oleh berbagai kementerian,
Klaster III adalah pengembangan usaha mikro dan kecil dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebagai program utama pemerintah.
"Memasuki paruh kedua masa pemerintahannya, SBY melanjutkan tiga klaster program tersebut dan menambahkan beberapa program pro-rakyat lainnya yang dimasukkan ke dalam Klaster IV. Menghadapi situasi APBN yang amat dibebani oleh subsidi BBM, di tahun 2013 SBY kembali mengurangi subsidi BBM yang berujung kepada peningkatan harga BBM," katanya.
Sehingga ada program kompensasi kepada penduduk miskin dan rentan di berikan dalam satu rangkaian program yang salah satunya juga berisikan bantuan tunai yang disebut Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM).
"Keseluruhan usaha yang dilakukan oleh Pemerintahan SBY telah membuahkan hasil berupa pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil (di atas angka 6 persen per tahun), menurunnya rasio utang negara terhadap PDB, penurunan angka kemsikinan dan juga angka pengangguran," katanya.
Namun Chairul juga mencatat terlihat peningkatan ketimpangan seperti yang ditunjukkan oleh peningkatan Rasio Gini menjadi 0,41 di tahun 2011.
Hingga kini, lanjut Chairul, pembangunan ekonomi Indonesia menyisakan masalah pemerataan pendapatan, dan dalam kerangka yang lebih luas menyisakan masalah keadilan sosial.
Sumber : Imam Wahyudiyanta - detikfinance http://finance.detik.com/read/2013/08/26/101425/2340225/4/ini-6--jurus--ekonomi-dari-soekarno-hingga-sby-di-mata-chairul-tanjung?f991104featured
Tidak ada komentar:
Posting Komentar