Tawassul adalah berdoa kepada
Allah melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik
kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi
lebih dekat kepada Allah.
أَلْوَسِيْلَةُ وَهِيَ مَا يُتَقَرَّبُ اِلَى الشَّيْئِ وَتَوَسَّلَ اِلَى رَبِّهِ بِوَسِيْلَةِ تَقَرُّبٍ اِلَيْهِ بِعَمَلِهِ
Artinya: “Wasilah adalah sesuatau yang digunakan untuk mendekatkan
diri kepada sesuatu yang lain. seseorang bertawassul kepada Tuhannya
melalui wasilah (media) Taqorrub dengan amal ibadahnya.” (Kamus Al
Misbah Al Munir)
اَلتَّوَسُّلُ بِأَحْبَابِ اللهِ هُوَ جَعَلَهُمْ وَاسِطَةً إِلَى اللهِ
تَعَالَى فِى قَضَاءِ الْحَوَائِجِ لِمَا ثَبَتَ لَهُمْ عِنْدَهُ تَعَالَى
مِنَ الْقَدْرِ وَالْجَاهِ مَعَ الْعِلْمِ بِأَنَّهُمْ عَبِيْدٌ
وَمَخْلُوْقُوْنَ وَلَكِنَّ اللهَ جَعَلَهُمْ مَظَاهِرُ لِكُلِّ خَيْرٍ
وَبَرَكَةٍ وَمَفَاتِيْحُ لِكُلِّ رَحْمَةٍ
Artinya: “Tawassul adalah memohon kepada Allah swt melalui perantara
orang-orang yang dicintai-Nya, seperti para Nabi dan Wali. Dikarenakan
mereka adalah orang-orang yang telah diridhoi dan telah diberi derajat
yang tinggi di sisi Allah swt.”
(al-Ajwibah al-Ghaliyah fi Aqidah al-Firqoh an-Najiyah dalam Fiqh Tradisionalis)
Landasan tawassul adalah firman Allah swt berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اِتَّقُوْا اللهَ وَاْبَتُغْوا
إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِي سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُوْنَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah swt
dan carilah jalan (tawassul) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan
berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”. (QS.
Al-Maidah : 35)
Pengertian ayat “وَابْتَغُوْا اِلَيْهِ اْلوَسِيْلَة” ialah
mendekatkan kepada Allah dengan mentaatiNya dan melakukan sesuatau yang
di ridloi olehNya. (Tafsir Ibnu Katsir)
Tawassul dibagi menjadi dua:
1. Tawassul dengan amal saleh.
Dalilnya adalah sebuah hadits yang mengisahkan tiga orang yang terperangkap di dalam gua. Lalu, ketiganya bertawassul dengan amal kebaikan yang pernah mereka lakukan.
Orang pertama bertawasul dengan amal baiknya terhadap kedua orang tua. Orang kedua bertawasul dengan takutnya kepada Allah swt sehingga menggagalkan perbuatan keji yang hendak ia lakukan.
Orang ketiga bertawassul dengan amal baik yang telah ia lakukan kepada pegawainya. Pegawai tersebut bekerja tanpa mau diberi gaji. Namun setelah gaji tersebut disimpan sang majikan lalu digunakan untuk membeli hewan ternak dan berkembang biak, sang pegawai meminta gajinya. Akhirnya seluruh hewan ternak diberikan kepadanya. Berkat amal-amal tersebut, Allah swt membukakan pintu gua sehingga ketiganya dapat keluar. (HR. Bukhori, Muslim dan Ahmad)
2. Tawassul dengan orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi di
sisi Allah swtseperti para nabi, wali dan syuhada’. Dalam sebuah hadits
disebutkan,
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ عُمَرَ اْبنَ اْلخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ
اِذَا قُحِطُوْا اِسْتَسْقَىْ بِالْعَبَّاسِ اْبنِ عَبْدِالْمُطَلِّبْ فقال
أَللَّهُمَّ كُنَّا نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا
وَأَنَا نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَأَسْقِنَا فَيُسْقُوْنَ
Artinya: “Dari Anas bin Malik, bahwasanya Sahabat Umar bin Khottob
ketika mengalami kemarau, maka beliau meminta hujan dan bertawassul
dengan Abbas bin Abdul Muthollib, beliau berkata “Ya Allah bahwasanya
kami telah bertawassul kepada Engkau dengan Nabi kami, maka Engkau
turunkan hujan dan sekarang kami bertawassul kepada Engkau dengan paman
Nabi kami, maka turunkanlah hujan itu.” (HR. Bukhori)
Mengambil kesimpulan dari hadits diatas bahwa :
– Sahabat Umar bin Khotob pernah berdoa bertawssul dengan Nabi untuk meminta diturunkan hujan.
– Sabahat Umar bin Khotob bukan bertawassul dengan Nabi saja, melainkan dengan paman Nabi juga, yaitu Sayyidina Abbas bin Abdul Muthollib.
Selain hadits di atas ada hadits lain yang menceritakan kisah seorang
sahabat yang menderita sakit mata. Sahabat tersebut meminta doa kepada
Rosululloh saw agar diberi kesembuhan, namun Rosululloh tidak berkenan
mendoakannya, akan tetapi beliau mengajarkan doa tawassul agar dibacanya
sendiri.
أَللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ
مُحَمَّدِ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ إِنِّى تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّكَ فِى
حَاجَتِىْ هَذِهِ لِتَقْضِى لِى فَشَفَّعْتَ فِيَّ
Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon dan berdoa kepada-Mu
dengan (bertawassul melalui) Nabi-Mu Muhammad, Nabi yang penuh kasih
sayang. (Wahai Nabi), sesungguhnya aku telah bertawajjuh kepada tuhanku
dengan (bertawasul melalui) Engkau agar hajatku ini terkabul. Ya Allah,
terimalah syafa’at beliau untukku”. (HR. Tirmidzi, an-Nasa’i, al-Baihaqi
dalam Dalil-dalil Nahdliyyah)
Sedangkan salah satu dasar bertawassul melalui orang yang telah mati adalah sebuah hadits:
عَنْ سَيِّدِنَا عَلِى كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ أَنَّ سَيِّدَنَا
مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْه وَسَلَّمَ لَمَّا دُفِنَ فَاطِمَةُ بِنْتِ
أَسَدٍ أُمِّ سَيِّدِنَا عَلِى رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ اَلَّلهُمَّ
بِحَقِّىْ وَحَقِّ الْاَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِى أَغْفِرُ لِاُمِّىْ بَعْدَ
أُمِّىْ
Artinya: “Dari sayyidina ‘Ali Karromallohu Wajhah: Sesungguhnya Nabi
Muhammad saw tatkala Fatimah binti Asad (ibu sayyidina ‘Ali) dimakamkan,
beliau berdo’a, “Ya Alloh, dengan (perantara) hakku, dan hak para Nabi
sebelumku, ampunilah ibu setelah ibuku. (Fatimah binti Asad).” (HR.
Thabari, Abu Nu’aim dan Ibnu Hajar al-Haitami)
Dalam hadits ini ternyata Rosululloh saw bertawassul dengan para nabi
sebelum beliau. Jelas, para nabi sebelum masa beliau sudah meninggal.
Tata Cara Tawassul :
Tawasul dapat dilakukan dengan berbagai cara, namun yang lazim adalah sebagai berikut :
Membaca ayat Al Quran, tahlil dll. Kemudian pahalanya dihadiahkan
kepada para nabi, wali dll (orang yang akan dijadikan perantara).
Lalu berdoa untuk ahli kubur yang diziarahi, misalnya dengan doa: Allohummaghfir lahum warhamhum wa’afihim wa’fu ’anhum.
Kemudian berdoa kepada Allah swt dengan doa yang dikehendaki.
Setelah selesai berdoa baru bertawasul memohon pada Allah swt agar berkenan mengabulkan pemintaannya dengan lantaran tokoh yang diziarahi.
Sumber : https://ceritaparawali.wordpress.com/2016/05/27/tawassul/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar