Di sini Soekarno dijauhkan dari gelora pengikutnya. Di bawah pohon sukun kota sunyi ini tercetus dasar negara.
Saya
tiba di depan rumah itu pada suatu pagi dengan menumpang ojek.
Pintu masih tertutup. Jadi saya sarapan nasi kuning dahulu dari
warung di depan rumah tersebut. Agak naik tempatnya. Barangkali dulu
dari sini orang mengawasi Soekarno, pikir saya, teringat cerita
seseorang yang terus menerus mengikutinya dari jauh, apalagi jika
bukan untuk memata-matainya.
Seperti bisa dibaca dalam
otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1966)
oleh Cindy Adams, ada kejadian menggelikan. Hanya ada 8 polisi di Ende,
yang waktu itu tentu jauh lebih sunyi. Meskipun menyamar, Soekarno
selalu tahu. Hanya polisi yang bersepeda hitam merk Hima. Orang
Belanda pula.
Sebetulnya polisi mendapat perintah mengawasi dari
jarak 60 m. Namun pada suatu sore, seseorang “… membuntutiku di jalan
raya yang dijalani angsa, kambing, kerbau dan sapi. Aku bersepeda
melalui rumah panggung menuju sungai. Jalan sempit, jadi dia mengayuh
mengembus-embus hampir bahu-membahu denganku. Waktu dia berhenti untuk
memata-matai, dua anjing melompat sambil menyalak menggeram. Pemaksa
hukum yang tinggi kejam ini, kaget memanjat ke atas sepeda, berdiri di
sadel dengan kedua tangan berpegang erat ke pohon.”
Itulah salah
satu hiburan segar di antara hari-hari berat selama 1934 -1938.
Diasingkan ke tempat tak seorang pun mengenalnya, sungguh mematikan
jiwa aktivis populer seperti Soekarno.
Ketika penjaga tiba dan
membuka pintu, saya bebas keluar masuk. Saya coba mengambil sudut
pandang Soekarno ketika memotret, dari duduk di kursinya sampai
menengok ke dalam sumur seakan mengambil air. Meskipun tiba dengan
keluarga, Inggit dan anak angkat, Ratna Juami, terbayang keterasingan
intelektualnya. Hanya dengan meneruskan segala cara perjuangan, ia
temukan pembebasan jiwa. Sembunyi-sembunyi ajarkan Indonesia Raya.
Naskah-naskah
sandiwara tersimpan tak terawat di balik kaca lemari. Naskah yang ia
gunakan menularkan gagasan merdeka, apakah tak takut rusak atau
dicuri? Lebih baik dibukukan, aslinya disimpan di tempat lebih aman
bersuhu sesuai bagi dokumen tua. Lukisan, tempat tidur dan perabotan
otentik butuh lebih dari sekadar bulu ayam pemelihara.
Pernah ada polemik, benarkah ia pernah bersurat mohon ampun dan dibebaskan, berdasarkan arsip Belanda yang dikutip John Ingleson. Ada pernyataan, surat-surat itu ditanam intelijen kolonial untuk meruntuhkan karisma Soekarno.
Sumber : http://nationalgeographic.co.id/berita/2016/08/ende-yang-melahirkan-pancasila