Sabtu, 20 Februari 2016

Lesbumi PBNU #2

Pasca penangkapan Pangeran Diponegoro, sisa panglima, perwira, manggala, prajurit, dan pengikut sang Pangeran menolak untuk tunduk kepada Belanda. Mereka beramai-ramai meninggalkan wilayah pertempuran, mencari hunian baru sambil terus menjalin hubungan untuk menggalang kekuatan anti kolonial. Eksodus pengikut P. Diponegoro itu menyebar ke berbagai tempat di pedalaman Jawa. Sebagian di antara pengikut P. Diponegoro di tempat yg baru mendirikan pesantren dgn menanamkan kebencian dan perlawanan thdp Belanda. Sejarah mencatat Kyai Umar yg menyingkir ke Semarang, menurunkan Kyai Sholeh Darat. Kyai Abdul Salam mendirikan pesantren Tambakberas, cucunya dikenal sebagai KH Wahab Hasbullah & KH Hasyim Asy'ari. Kyai Hasan Muhyi, pendiri pesantren Kapu, menurunkan kyai-2 di Kediri & Nganjuk. Kyai Jakaria atau Eyang Jugo yg membangun perlawanan di Blitar & Malang. Buyut Soba di Kertasari, Tegal. Kyai Wirojoyo pendiri pesantren Batu Malang, dll.

Fakta perlawanan sisa-2 pengikut P. Diponegara yg menyebar di hampir semua tempat di pedalaman ini dihadapi kolonial Belanda dgn perang lain yg skrg kita kenal sebagai assymmetry war.

Tahun 1832, lahir naskah kolonial pertama yg disebut Babad Kadhiri yg disusun Mas Ngabehi Poerbowidjojo, seorang beskal atau jaksa pribumi di Kediri.

**
Kekuatiran pemerintah kolonial atas menyebar-luasnya pengikut P. Diponegara yg di mana pun berada selalu menebar kebencian dan permusuhan, bukan mengada-ada apalagi paranoid. E de Wall yg mencatat pemberontakan-2 besar yg terjadi di pulau Jawa selama kurun 1840 -- 1875 mendapati fakta hampir tiap tahun terjadi pemberontakan kecuali tahun 1844, 1847, 1860, 1863, 1871, 1874, di mana yg memimpin perlawanan dlm pemberontakan-2 tersebut adalah guru tarikat dan kyai pesantren. 

Surat Keputusan Raja Belanda 4 Februari 1859 No.78 yg menginstruksi Gubernur Jenderal Hindia Belanda agar tdk mencampuri urusan agama pribumi, kecuali untuk memelihara rust en orde. Bahkan pada ayat 80 gubernur jenderal boleh mengawasi perilaku para ulama, tetapi hrs menjaga agar guru atau zending Kristen tdk mengganggu ulama (archive Universiteits Bibliotheek no.1803, A21, Leiden).

Di tengah hiruk perlawanan rakyat pribumi dipimpin guru tarikat dan kyai pesantren itu muncul naskah-2 historiografi kolonial seperti Darmagandhul, Sabdopalon, Suluk Gatoloco, Kidung Sunda, kronik Cina klenteng Sampokong, Pararaton, Serat Syeh Siti Jenar, dan cerita-cerita tutur yg mendiskreditkan tokoh-2 penyebar lslam. 

Pandangan yg disebarkan Thomas S. Raffles dan perwira Sepoy pada awal abad 18 bhw kebesaran orang Jawa saat Majapahit menjadi runtuh setelah memeluk lslam, diungkap oleh naskah-2 kolonial dalam assymmetry war. Orang-2 Jawa digambarkan melakukan resistensi perlawanan terhadap lslam, yg dianggap agama penjajah yg membodohkan orang Jawa. Itulah awal separasi munculnya varian Abangan dan Santri sebagai bentuk pertengangan kultural dlm masyarakat Jawa. Dengan prinsip stigmatik konflik, bangunan sejarah Jawa ditegakkan di atas landasan pemikiran konflik devide et impera. Cerita-cerita lisan seperti perselisihan Sunan Drajat dgn Sunan Sendang muncul pada masa ini, termasuk konflik Majapahit-Demak, Majapahit- Sunda, dll.

*Ket. Gambar: Serat Babad Kadhiri, terbitan Tan Khoen Swie, 1932


Lesbumi PBNU

Tidak ada komentar: