Catatan Volunteer
Satu Satu Satu Satu Satu Satu
Kamis, 07 Agustus 2014
Babad Alas Mentaok
(art / mataram 351)
Bait 01
Tertulis dalam babad tanah Jawi, dalam ingatan orangtua
tentang Prabu Brawijaya Sang Kertabumi, raja di Majapahit
bahwa ia memperistri Putri Wandan, dan memperoleh putra
tampan berwibawa rupanya, ia disebut Raden Bondan Kejawan
Saat ia dilahirkan Majapahit telah mendekati kehancurannya
karena itu dititipkanlah ia kepada Ki Juru Sabin
apalagi karena ibundanyapun meninggal sewaktu melahirkan
Setelah mencapai usia remaja Bondan Kejawan dibawa ke Tarub
untuk dibina jiwa dan raganya oleh Ki Ageng Tarub
ketika disanalah ia berganti nama menjadi Raden Lembu Peteng
Bait 02
Adapun Ki Ageng Tarub itu sebenarnya putra Dewi Rasawulan
yaitu putri tumenggung Tuban Wilatikta yang perkasa
ia pun adik Raden Said, yang disebut juga Sunan Kalijaga
Ki Ageng itu menikah dengan Dewi Nawang Wulan
dan menurunkan seorang anak wanita bernama Dewi Nawangsih
maka dengan Dewi Nawangsihlah Bondan Kejawan menikah
dan berputra Raden Getas Pandawa, yang lalu menurunkan
Ki Ageng Sela, abdi setia, prajurit di kesultanan Demak
Ia cakap mengabdi, bahkan turut perang melawan Majapahit
tetapi setelah tua kembalilah ia ke desanya
di sana menulis sebuah serat pepali untuk anak cucu
Bait 03
Dari putri Sumedang Ki Ageng sela menurunkan dua orang anak
yaitu Nyi Ageng Saba dan Ki Ageng Ngenis ing Nglawean
Ki Ageng Ngenis adalah pengabdi dan pendukung Mas Karebet
bahkan hingga naik takhta dengan gelar Sultan Hadiwijaya
Karena jasa-jasanya dari raja Pajang itu memperoleh dukuh Perdikan
yaitu Nglaweyan di mana ia kemudian menetap hingga mangkatnya
Putra Ki Ageng, yang bernama Ki Gede Pemanahan
menjadi abdi Sultan Pajang, dan diangkat menjadi kakak
Karena kasihnya ia selalu membela junjungannya
hingga berani menghadapi Arya Penangsang dari Jipang
seorang musuh Pajang yang sombong dan angkuh sikapnya
karena dukungan Ki Juru Mertani, Ki Penjawi dan Sutawijaya
berhasillah Ki Gede Pemanahan membinasakan Arya Penangsang
yang gugur dalam kemarahan di aliran Bengawan Sore
Karena jasanya itu maka Sultan Pajang menghadiahkan
Alas Mentaok dan daerah Kadipaten Pati
kepada Pemanahan dan kepada Penjawi.
Bait 04
Demikianlah maka pada suatu hari yang penuh berkat
berangkatlah rombongan Ki Gede ke Alas Mataram
di situ ada di antaranya: Nyi Ageng Ngenis, Nyi Gede Pemanahan
Ki Juru Mertani, Sutawijaya, Putri Kalinyamat, dan pengikut dari Sesela
Ketika itu adalah hari Kamis Pon, tanggal Tiga Rabiulakir
yaitu pada tahun Jemawal yang penuh mengandung makna
Setibanya di Pengging rombongan berhenti selama dua minggu
Sementara Ki Gede bertirakat di makam Ki Ageng Pengging
Lalu meneruskan perjalanan hingga ke tepi sungai Opak
Di mana rombongan dijamu oleh Ki gede Karang Lo
Setelah itu berjalan lagi demi memenuhi panggilan takdir
hingga tiba di suatu tempat, disana mendirikan Kota Gede
Bait 05
Semakin lama negeripun semakin berkembang jua
malah dilengkapi keraton yang selesai dibangun tahun 1578
Di sanalah Ki Gede Pemanahan memerintah, sebagai bawahan Pajang
Hingga akhirnya mangkat dipanggil ke hadirat Sang Pencipta
serta dimakamkan di halaman mesjid Agung di Kuto Gede
pada tahun ber-candrasengkala “Lunga trus rumpaking bala”
Maka Ki Gede Pemanahan meninggalkan tujuh orang anak:
Pertama Mas Danang, yang disebut pula Sutawijaya
dan sering dipanggil Raden Ngabehi Lor ing Pasar
kedua Raden Jambu, ketiga Raden Santri
keempat Raden Kedawung, kelima Raden Tompe
keenam istri Arya Dadap Tulis, ketujuh istri Tumenggung Mayang
Bait 06
Tersebutlah Sutawijaya ditunjuk Sultan Pajang
menjadi pengganti ayahnya, dengan gelar Senopati Ing Alaga
Ia adalah pemimpin yang cakap, dan prajurit yang gagah perkasa
tegasnya pantas ia menjadi raja, sebagaimana yang dicita-citakannya
Sewaktu bertirakat di batu besar Lipura ia mendapat wahyu
bahwa akan menjadi raja, yang menurunkan Wangsa Agung
diperingati oleh paman Ki Martani, ia menyusuri kali Opak ke arah timur
lalu bertapa di laut selatan, yaitu di tepi ombak yang menderu
di tempat bernama Sawangan, di wilayah Kanjeng Ratu Kidul
Sementara itu Ki Juru Martanipun memberinya dukungan
dengan menjalankan prihatin tapa, di lereng gunung Merapi
Bait 07
Setelah itu bersiaplah mereka mempersiapkan kebangunan Mataram
menjawab panggilan sejarah, memenuhi amanat leluhur
Segala adipati, penguasa, dan tokoh di sekitar Mataram
ditundukannya untuk menjadi pendukung usahanya
Ki Ageng Mangir, adipati Kulon Progo, yang ingin merdeka
dibinasakannya, walau ia adalah seorang menantu
yaitu suami Kanjeng Ratu Pembayun, putri Senopati
yang suka supaya ayahandanya dan suaminya mau bersatu
Seterusnya Senopatipun memperkuat semua pasukannya
juga membangun parit dan benteng, seakan menantang Pajang
Setelah itu ditemukannya berpuluh dan beratus halaman
tempat dituliskannya seribu satu malam alasan
untuk tidak datang ke Pajang, dan bersembah kepada raja
Marahlah Adiwijaya, Pajang menyerbu, pertempuran pecah di Prambanan
gagah orang Mataram berjuang, maka Pajangpun mengundurkan diri
Pada perjalanan pulang Sultan Adiwijaya jatuh sakit
dan sangat parah keadaannya sewaktu tiba di kota
penuh hormat dan kasih Senopati mengiringkan perjalanannya
malah menyuruh letakkan serumpun kembalian cinta
berupa kembang selasih, yang diletakkan di gerbang istana
akhirnya mangkatlah Sri Sultan, terbukalah jalan bagi Mataram
Maka kemenangan Mataram itu terjadi pada tahun Saka 1508
dan diperingati dengan Candrasengkala pada gerbang mesjid Agung
Bait 08
Setelah itu mulailah Sang Panembahan Senopati berperang
untuk menaklukkan daerah-daerah di tanah Jawa
ia pergi bertempur melawan adipati-adipati di timur
bahkan pernah pula berlaga melawan Pati
berperang melawan Pragola Pertama, putra Ki Penjawi
demikianlah hidupnya penuh perjuangan, hingga ia mangkat
pada tahun 1601 di Bale Kajenar yang disebut juga Gedhong Kuning
seperti ayahandanya iapun dimakamkan di halaman mesjid Agung
di ibukota praja Mataram, negeri para perwira
JEJAK-JEJAK KEKUASAAN SENAPATI ATAS MANGIR
Mangir pada hakikatnya adalah sebuah dusun, tepatnya berada di sebelah selatan Kota Yogyakarta (+ 20 km).
Jarak Mangir dari Kotagede kurang lebih juga 20-an km. Mangir terbagi atas tiga wilayah yang lebih kecil, yakni Mangir Lor, Mangir Tengah, dan Mangir Kidul.
Tiga nama Mangir ini masuk dalam wilayah Desa/Kalurahan Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Posisi wilayah Mangir agak masuk ke sisi sebelah barat daya Kabupaten Bantul dengan kondisi alam yang relatif subur di bagian tengah dan perbukitan kapur di sisi selatan. Meskipun daerahnya agak menjorok ke dalam, tetapi lokasi Mangir dapat dicapai dengan kendaraan bermesin karena jalan-jalan penghubungnya sudah banyak yang dibangun dengan baik dan beraspal.
Mangir pada zamannya tidak pernah merasa perlu tunduk di bawah kekuasaan siapa pun (baik Pajang maupun Mataram). Wilayah ini pada zamannya barangkali tidak berbeda jauh dengan wilayah Mataram pada zaman Senapati. Barangkali pula Mangir masih meneruskan tradisi Majapahit, yakni sebagai sebuah wilayah perdikan sehingga secara tradisi pula Mangir bebas dari pajak dan berhak penuh mengelola dirinya sendiri.
Bedanya, Mangir tidak pernah meluaskan wilayahnya seperti Mataram. Apabila Mataram biasa disebut sebagai sebuah kerajaan, maka pantas pulalah kalau Mangir pun pada zamannya disebut sebagai sebuah kerajaan.
Kebesaran Mangir barangkali dapat dilihat dari wilayahnya yang meliputi tiga dusun tersebut (bahkan dalam cerita tutur disebutkan bahwa kademangan di sekitar Mangir pun menyatakan diri sebagai pengikut Mangir, seperti Kademangan Pajangan, Kademangan Tangkilan, Kademangan Pandak, Kademangan Paker, Kademangan Jlegong) . Di samping itu, di Dusun Mangir Tengah juga ditemukan sebuah dhampar ‘tempat duduk raja/ petinggi/pemimpin suatu daerah’. Dhampar berukuran sekitar 1 x 1 meter persegi dengan ketinggian sekitar 30-40 cm yang terbuat dari batu andesit tersebut sampai sekarang masih dirawat baik oleh penduduk setempat. Di samping dhampar tersebut, hampir di seluruh Dusun Mangir ditemukan puing-puing batu bata dan batu putih yang diyakini sebagai sisa-sisa bangunan/pagar/benteng Kerajaan Mangir. Lingga dan yoni dalam bentuk relatif masih utuh pun ditemukan di sana. Demikian pula lembu Nandhi. Temuan-temuan di atas mengindikasikan bahwa pada awalnya wilayah Mangir atau paling tidak pemimpinnya, mempunyai kepercayaan Hindu.
Dua Buah Makam Ki Ageng Mangir
Awam umumnya mengenal bahwa makam Ki Ageng Mangir berada di kompleks makam Kotagede. Akan tetapi sebagain kecil masyarakat meyakini bahwa makam Ki Ageng Mangir berada di Dusun Saralaten, Sidakarta, Godean, Sleman, Yogyakarta. Hal ini menimbulkan banyak spekulasi di kalangan masyarakat. Spekulasi yang pertama menduga bahwa makam Ki Ageng Mangir di Kotagede adalah makam yang dibuat dengan tujuan politis. Makam Mangir di Kotagede dibuat demikian unik. Setengah batu nisannya berada di luar pagar kompleks makam dan yang lainnya berada di dalam. Hal ini dimaksudkan oleh Senapati sebagai pengakuan atas Mangir sebagai menantu (dilambangkan dengan batu nisan yang berada di dalam tembok) dan sekaligus sebagai musuh (dilambangkan dengan batu nisan yang berada di luar pagar tembok).
Dengan demikian, peristiwa atas pembunuhan putra menantu sendiri yang dilakukan oleh Senapati menjadi kelihatan sah. Di samping itu, Senapati pun merasa sah pula mengakui musuhnya sebagai menantu. Dari sisi politis menjadi demikian jelas bahwa Senapati tidak segan-segan melakukan pembersihan terhadap siapa pun, termasuk putra menantu.
Spekulasi kedua atas fenomena makam Mangir di Dusun Saralaten, Sidakarta, Godean, Sleman meyakini bahwa Ki Ageng Mangir yang dibunuh oleh Senapati itu tidak dimakamkan di Kotagede. Dalam cerita tutur dikatakan bahwa jenazah Ki Ageng Mangir dikeluarkan melalui pintu belakang Keraton Mataram lalu dibawa oleh Demang Tangkilan pulang ke daerahnya (Tangkilan, nama sebuah dusun yang terletak di sebelah timur Dusun Saralaten, Godean). Pada masa itu Saralaten barangkali masih berada di bawah pemerintahan Kademangan Tangkilan, Oleh Demang Tangkilan inilah jenazah Ki Ageng Mangir dikuburkan di wilayahnya. Persoalannya kemudian adalah mengapa jenazah itu tidak dikuburkan di Mangir oleh Demang Tangkilan. Dugaan yang dapat diajukan atasnya barangkali adalah karena Demang Tangkilan tidak berani menolak perintah Senapati untuk menguburkan Mangir di wilayahnya. Dugaan yang lain adalah karena setelah pembunuhan Mangir kemungkinan besar Senapati terus melakukan pembersihan dan penghancuran Mangir. Hal demikian biasa dilakukan oleh pembesar-pembesar masa itu karena merasa kedudukannya akan menjadi terancam di kemudian hari oleh saudara, kerabat, dan anak keturunan dari bekas musuhnya. Oleh karena itu, prinsip babat habis sampai ke akar-akarnya sering diterapkan penuh.
Dugaan yang kedua ini diperkuat pula oleh banyaknya orang yang bersimpati/yang masih merasa keturunan Mangir yang kemudian selalu melakukan ziarah ke makam Saralaten dan justru bukan di Kotagede. Makam Saralaten ini konon ditemukan pertama kali oleh Bapak Soewarno pada tahun 1969. Pada saat ditemukan masih merupakan gundukan batu bata yang tertutup rumput. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana pembuktian makam itu sebagai makam Ki Ageng Mangir. Hanya diceritakan bahwa Bapak Soewarno pada masa hidupnya demikian penasaran dan tekun mencari-cari lokasi makam Ki Ageng Mangir. Dipercaya pula bahwa penemuan makam tersebut dilandasi juga dengan laku spiritual. Keyakinan Bapak Soewarno atas makam Saralaten ini dibuktikan pula dengan pemugaran yang dilakukan pada tahun 1976 sehingga makam tersebut menjadi kelihatan megah dan bersih.
Tiga Tokoh Ki Ageng Mangir Wanabaya
Dalam buku-buku sejarah tidak pernah disebutkan dengan jelas siapakah tokoh Ki Ageng Mangir. Dalam buku sejarah versi De Graaf pun (Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Awal Kebangkitan Mataram, Puincak Kekuasaan Mataram, Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I, dan Runtuhnya Istana Mataram) nama Mangir tidak pernah disebut sama sekali. Nama Mangir justru terkenal di dalam cerita tutur dan buku Babat Mangir
Dalam Babat Mangir disebutkan paling tidak ada tiga tokoh yang menggunakan nama Mangir. Dalam tulisan ini akan digunakan penomoran untuk membedakan tokoh-tokoh yang semuanya menggunakan nama Mangir. Mangir I adalah putra Radyan Alembumisani, seorang pelarian dari Kerajaan Majapahit. Konon Radyan Alembumisani adalah putra Brawijaya yang melarikan diri dari majapahit karena serbuan tentara Demak. Ketika muda Mangir I ini diberi nama Radyan Wanabaya. Radyan Wanabaya (Mangir I) inilah yang kemudian tinggal di Mangir sehingga ia terkenal dengan nama Ki Ageng Mangir Wanabaya.
Ki Ageng Mangir Wanabaya I kawin dengan seorang putri dari Juwana. Dari perkawinan tersebut lahirlah Ki Ageng Mangir Wanabaya II. Di samping itu, Ki Ageng Mangir I juga mempunyai anak dari seorang gadis, putri dari Demang Jalegong. Perkawinan Ki Ageng Mangir Wanabaya I dengan Rara Jalegong konon melahirkan seorang anak yang berupa ular (demikian disebut-sebut dalam babad dan cerita tutur). Anak yang kelak terkenal dengan nama Ki Bagus Baruklinting ini mempunyai kesaktian yang luar biasa pada lidahnya sehingga lidahnya dibuat menjadi sebilah mata tumbak oleh ayahnya sendiri dan diberi nama Kiai Baru.
Dalam persepsi Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Drama Mangir, Baruklinting dipersonifikasikan sebagai pemuda yang pandai menghimpun massa dan ahli strategi perang. Barangkali apa yang dipersepsikan Pram tidak meleset jauh mengingat cerita tutur Jawa dan babad sering demikian banyak dibumbui cerita-cerita yang berbau mitos, sandi, sanepa ‘perumpamaan/teka-teki’, dan legenda.
Ki Ageng Mangir Wanabaya II kelak kawin dengan seorang gadis, putri dari Demang Paker. Dari perkawinan ini lahirlah Ki Ageng Mangir Wanabaya III. Ki Ageng Mangir Wanabaya III inilah yang kelak meneruskan sifat-sifat ayah maupun kakeknya untuk tidak tunduk pada pemerintahan Pajang maupun Mataram. Ia pulalah yang kemudian mewarisi tumbak Kiai Baru.
Seperti apa yang dikemukakan Pram, sangat logislah bahwa putra Ki Ageng Mangir I dengan Rara Jalegong tetaplah berupa manusia juga. Manusia itu diberi nama Baruklinting. Hanya karena ia lahir dari seorang wanita yang tidak dinikah, maka dalam cerita babad ia digambarkan sebagai ular. Kesaktian yang terletak di lidahnya diidentikkan oleh Pram sebagai lidah yang demikian micara ‘semacam ahli pidato/diplomasi’ dan ahli strategi. Kepandaiannya berdiplomasi mengakibatkan Baruklinting mudah menghimpun massa. Tidak aneh apabila kemudian ia menjadi sosok yang demikian diandalkan oleh Ki Ageng Mangir Wanabaya II (saudara tirinya) dan Ki Ageng Mangir Wanabaya III pada zaman berikutnya (dalam versi Babad Mangir I diceritakan bahwa Baruklinting tewas begitu dipotong lidahnya oleh ayahnya. Sukma Baruklinting kemudian diperintahkan untuk tinggal di Rawapening oleh ayahnya).
Pada masa kepemimpinan Ki Ageng Mangir Wanabaya III inilah Senapati melakukan aneksasi dengan jalan halus (siasat perkawinan) dan kasar (peperangan-perampasan). Dalam babad diceritakan bahwa kehendak untuk menghancurkan Mangir dari semula memang sudah tumbuh di hati Senapati. Ki Mandaraka menganjurkan supaya Mangir ditaklukkan dengan cara halus. Dengan demikian biaya perang bisa dihemat, korban jiwa dan harta tidak banyak yang jatuh. Siasat itu berhasil setelah Senapati mengumpankan putrinya sendiri yang bernama Rara Pembayun agar dapat dikawin oleh Ki Ageng Mangir Wanabaya III. Melalui Rara Pembayun itu pula Ki Ageng Mangir Wanabaya III menjadi bersikap sedikit lunak kepada Senapati (Mataram). Kelunakan hati Mangir III ini ditunjukkan dengan kesediaan Mangir III menghadap ke Mataram. Ketika menghadap itulah ia dihabisi oleh Senapati.
Untuk menunjukkan pengakuan menantu sekaligus musuh atas Mangir III ini konon Senapati membuat makam dengan separoh batu nisan berada di luar pagar tembok dan separo lainnya berada di dalam tembok kompleks makam Kotagede. Belum diketahui dengan jelas siapakah sesungguhnya yang membangun makam Mangir III di Kotagede itu. Apakah memang Senapati ataukah raja-raja Mataram setelah Senapati.
Sartono Kusumaningrat
Daftar Pustaka
Ananta Toer, Pramoedya, 2000, Drama Mangir, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Anonim, 1980, Babad Mangir I, Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa.
Anonim, 1941, Poenika Serat Babad Tanah Djawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi
ing Taoen 1647, Leiden: M. Nijhoff-s’Gravenhage.
De Graaf, H.J., 1986, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Jakarta: PT Pustaka Grafitipers.
——————, 1987, Awal Kebangkitan Mataram, Jakarta: PT Pustaka Grafitipers.
Sriwibawa, Soegiarta, 1976, Babad Tanah Jawi Jilid I, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
——————, 1977, Babad Tanah Jawi Jilid II, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Posting Lebih Baru
Posting Lama
Beranda
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar